Laporan: Andi Saputra
SEMARANG | HARIAN7.COM – Sebuah ruang diskusi terbuka digelar di Universitas Diponegoro, Minggu, 4 Mei lalu. Di tengah suhu politik nasional yang masih hangat dan kegelisahan urban yang mengemuka, Wali Kota Semarang, Agustina, memilih turun langsung ke kampus. Bukan untuk ceramah satu arah, melainkan membuka ruang dialog bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip.
Forum ini menjadi bagian dari upaya membangun komunikasi konstruktif antara pemerintah dan generasi muda. Di hadapan mahasiswa yang menyuarakan pelbagai isu strategis, Agustina menyampaikan apresiasinya atas peran aktif Undip. “Ini membuktikan bahwa Undip hadir bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaku dalam narasi besar pembangunan bangsa,” katanya dalam sambutan.
Agustina juga mengutip pidato Rektor Undip saat pelantikan BEM beberapa waktu lalu, yang menyebut bahwa “genetik Undip adalah juara”. Ia menegaskan, kutipan itu bukan sekadar simbolik, tapi mencerminkan keberanian, religiusitas, dan semangat untuk melawan ketidakadilan. “Itu adalah jati diri,” ujarnya.
Alumni kampus Hayam Wuruk ini juga tak segan berbagi kisah masa mudanya sebagai aktivis GMNI. Ia mengenang bagaimana organisasi membentuk kepekaan sosial dan kapasitas intelektualnya. “Organisasi bukan sekadar rapat dan proposal, tapi jalan panjang yang penuh ketekunan dan ketabahan,” ungkap Agustina.
Sebagai kepala daerah, ia menyadari pentingnya merancang kebijakan yang berpihak pada pemuda. Dalam forum tersebut, ia menekankan bahwa kepemimpinan bukan sekadar hadir, tetapi harus menciptakan arah dan perubahan. Selain forum ini, Pemerintah Kota Semarang telah membuka ruang partisipasi lain: Musrenbang pemuda, disabilitas, perempuan, dan pariwisata.
Satu per satu aspirasi mahasiswa ditanggapi. Analisa, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, mengangkat pentingnya pengembangan budaya dan pariwisata. Menanggapi itu, Agustina menyatakan komitmen untuk mengembalikan kegiatan yang mengangkat narasi budaya lokal. “Budaya adalah titik penting yang harus dikedepankan, harus ada simbol budaya apa yang kita angkat dan dikomunikasikan. Seperti dalam film Korea, kita juga harus serius mengangkat budaya secara detil dan terstruktur,” ujarnya.
Masalah transportasi juga jadi perhatian. Randy, mahasiswa FIB, menyampaikan keluhan tentang minimnya akses ke Tembalang. Menurut Agustina, keterbatasan armada menjadi hambatan utama. “Sudah enam tahun belum ada pembelian bis baru. Semoga anggaran mencukupi atau bisa dicarikan mitra investor. Trayek ke Tembalang penting, dan perlu solusi sistemik dari titik-titik strategis seperti Patung Diponegoro,” jelasnya.
Ganda, dari FMIPA, menyentil soal pencemaran logam berat akibat industri. Agustina mengakui IPAL yang tersedia belum memadai. Ia mengatakan, penanganan isu lingkungan menjadi bagian prioritas dalam RPJMD baru. “Benar IPAL belum cukup. Akan ada kajian besar untuk program aksi 2026, termasuk pengadaan alat ukur pencemaran dan inspeksi industri. Tahun ini juga terus ditambah area hijau melalui hutan kota,” tuturnya.
Di akhir diskusi, Agustina menegaskan bahwa proses pembangunan yang berpihak pada keadilan sosial tidak bisa lepas dari partisipasi publik. “Tagline pembangunan lima tahun ke depan adalah perekonomian maju, berkeadilan sosial, dan lestari. Maka, semua suara—termasuk dari mahasiswa—harus menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan.”
Forum ini bukan sekadar ruang curhat. Ia menjadi gambaran bagaimana relasi kuasa dan aspirasi warga bisa dirangkai dalam satu ruang yang cair dan setara. Di sanalah, arah kota dicoba digambar ulang bersama mereka yang kelak akan memegang kemudinya.