Ladang Ganja di TNBTS Terungkap, Polemik Drone dan Tarif Rp 2 Juta Mencuat
JATIM | HARIAN7.COM – Kasus penemuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menggemparkan publik setelah viral di media sosial. Fakta ini terungkap berkat penggunaan drone oleh pihak Balai Besar TNBTS. Namun, muncul spekulasi liar yang mengaitkan larangan menerbangkan drone di kawasan wisata Gunung Bromo dan Gunung Semeru dengan dugaan penyembunyian ladang ganja.
Seperti diketahui, aturan di kawasan ini melarang pendaki menerbangkan drone secara bebas tanpa izin resmi, dengan tarif mencapai Rp 2 juta. Kecurigaan pun merebak di kalangan warganet, menuding aturan tersebut dibuat untuk menutupi keberadaan ladang ganja.
Ladang Ganja di Blok Pusung Duwur
Kepala Balai Besar TNBTS, Rudijanta Tjahja Nugraha, menegaskan bahwa lokasi ladang ganja bukan berada di jalur wisata Gunung Bromo maupun Gunung Semeru. Penemuan ini terjadi pada 18-21 September 2024, saat tim gabungan BB TNBTS, Polres Lumajang, TNI, dan perangkat Desa Argosari melakukan patroli. Ladang ganja tersebut ditemukan di Blok Pusung Duwur, yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Senduro dan Gucialit, Kabupaten Lumajang.
“Saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Lumajang,” ujar Rudijanta.
Setelah temuan awal, pihak BB TNBTS menerbangkan drone untuk memantau kemungkinan adanya ladang lain. Hasilnya, puluhan titik ladang ganja berhasil diidentifikasi. Video penemuan ladang ini kemudian beredar di media sosial, memicu dugaan bahwa tarif mahal drone di kawasan wisata sengaja diterapkan untuk menyembunyikan temuan tersebut.
Aturan Drone di TNBTS, Benarkah untuk Menutupi Ladang Ganja?
Rudijanta membantah spekulasi tersebut. Ia menegaskan bahwa larangan drone tidak berkaitan dengan ladang ganja, melainkan bertujuan menjaga keselamatan pendaki.
“Lokasi ladang ganja berada di sisi timur kawasan TNBTS, sedangkan Wisata Gunung Bromo ada di sisi barat, berjarak sekitar 11 km. Jalur pendakian Gunung Semeru ada di sisi selatan, berjarak sekitar 13 km,” jelasnya.
Aturan penerbangan drone sendiri telah berlaku sejak 2019, berdasarkan SOP Nomor SOP.01/T.8/BIDTEK/BIDTEK.1/KSA/4/2019 tentang Pendakian Gunung Semeru. Larangan ini dibuat demi mencegah gangguan terhadap pendaki, mengingat medan pendakian yang cukup ekstrem.
Namun, aturan ini tidak bersifat mutlak. Penggunaan drone tetap diperbolehkan asalkan membayar Rp 2 juta. Biaya tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024, yang mengatur tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di kawasan konservasi di seluruh Indonesia.
Kewajiban Pemandu untuk Pendaki Lebih dari 10 Orang
Tak hanya soal drone, aturan pendaki lebih dari 10 orang wajib didampingi pemandu juga menuai perdebatan. Netizen menilai aturan ini sebagai bentuk pembatasan akses.
Rudijanta membantahnya dan menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat lokal serta meningkatkan pengalaman wisatawan.
“Pendamping atau pemandu akan memberikan interpretasi yang lebih baik kepada pengunjung, sehingga perjalanan lebih aman dan edukatif,” tegasnya.(Yan)
Tinggalkan Balasan