Menggugat Pemerintah Untuk Melindungi Masyarakat Korban Jeratan Kartel Pinjol ILegal
![]() |
Mohammad Sofyan adalah Ketua DPC PERADI Ungaran – Ketua LPBHNU Kota Salatiga kuasa hukum dari para Korban Pinjol Ilegal. |
Oleh : Mohammad Sofyan
SEMARANG | HARIAN7.COM – Dari berbagai pemberitaan media sering menampilkan pokok persoalan yang menyangkut praktik Pinjaman Online (Pinjol) Ilegal. Banyak masyarakat menjadi korban dengan menyisakan kisah yang tragis mulai dari ada yang frustasi hingga sampai bunuh diri, ada yang stress hingga banyak kisah tentang kebangkrutan secara ekonomi akibat terjerat pinjol ilegal. Metode penagihan yang berbentuk teror dan intimidatif melalui media elektronik menjadi problem serius yang harus dihadapi masyarakat korban pinjaman online.
Praktik pinjol menyasar secara masif kedalam lini kehidupan sehari hari masyarakat. Hampir setiap hari hampir setiap pengguna HP selalu kirimi iklan pinjaman online yang menawarkan janji manis dengan prosedur yang mudah dan tanpa jaminan maka menjadi magnet bagi masyarakat untuk mengajukan pinjaman online tersebut. Namun yang terjadi kemudian maka masyarakat peminjam online langsung menghadapi teror dan intimidatif untuk melunasi hutang hutangnya tersebut dengan bunga yang fantanstis dan tidak rasional.
Pinjaman online (Pinjol) atau _peer to peer lending_ sebagai salah satu bentuk financial technology (fintech) adalah imbas dari kemajuan teknologi yang banyak menawarkan pinjaman dengan syarat serta ketentuan yang lebih mudah dan fleksibel jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional seperti bank. Di Indonesia pasar Fintech dalam bentuk pinjaman online dianggap cocok, bahkan penetrasi kepemilikan dan penggunaan telepon selularpun sangat tinggi.
Meskipun masyarakat belum memiliki akses keuangan. Apalagi disaat kondisi ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19 ditambah lagi perilaku masyarakat digital yang konsumtif membuat pinjaman online menjadi solusi terbaik bagi mereka tanpa memikirkan dampak yang timbul dikemudian hari.
Dampak permasalahan yang muncul bagi konsumen layanan pinjaman online salah satunya adalah saat penagihan pembayaran, mereka dibuat tidak nyaman, merasa diperas, diteror dan diintimidasi. Tindakan dari penyelenggara Pinjaman online ini diindikasikan bukan hanya melanggar hukum namun juga melanggar hak asasi manusia terutama pada UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 30.
Dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat pengguna jasa / konsumen pinjaman online berharap ada perlindungan hukum dari pemerintah yang dianggap masih sangat rendah dan lemah.
Meski saat ini sudah ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 POJK.01/2016 tentang Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan SEOJK Nomor 18/SEJOK.01/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi belum dapat menjangkau kepentingan perlindungan hukum terhadap pengguna layanan ini. Selain itu dalam peraturan Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang diatur dalam POJK No. 1 jo POJK. 07/ 2013 nampaknya belum dapat menjangkau pasar peer to peer lending karena belum ada aturan yang menyatakan bahwa peer to peer lending masuk dalam peraturan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Kedua, Perlindungan hukum data pribadi telah diatur dalam Pasal 26 UU ITE. Secara khusus perlindungan data pribadi peminjam dalam layanan pinjaman online diatur dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Tinggalkan Balasan