HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA

Pesona Goa Kreo dan Desa Kandri

Plaza kera, waduk Jatibarang dan jembatan ke Goa Kreo.

oleh: Sugayo Jawama

Catatan Perjalanan Wisata HPN-PWI Jateng

Selama sehari satu malam lalu, sejak Kamis siang (02/03/2023) sampai Jumat siang (03/03/2023) sejumlah 42 wartawan dari  beragam nama media di Jawa Tengah melakukan perjalanan wisata (Pers Tour) di kawasan Desa Wisata Kandri. Kegiatan Pers Tour di daerah pedesaan Kecamatan Gunungpati di dalam wilayah pemerintahan Kota Semarang ini atas prakarsa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng dalam rangkaian acara peringatan hari pers nasional (HPN) sekaligus Hari ulang tahun (HUT) PWI ke 77.

Goa Kreo 1980an

“Goa Kreo” adalah suatu nama tempat  yang di  telinga penulis berkesan eksotis, mitis bahkan bernuansa unsur magis.

Pertama kali mendengar tentang adanya suatu nama tempat tersebut pada tahun 1985 semasa masih mahasiswa semester kelima di perguruan tinggi negeri ternama di kota Semarang.

Dalam kurun waktu antara tahun 1986/1987, sebagai wartawan pemula bidang liputan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya sempat tiga kali mengunjungi “Goa Kreo”. Baik dengan berkendara sepeda motor pribadi maupun menumpang rombongan dinas instansi pemerintah yang punya keterkaitan tugas di kawasan pebukitan di wilayah pemerintahan kota Semarang itu.

Sewaktu bertandang ke sana berboncengan sepeda motor dengan seorang kawan, ketertarikannya adalah menyajikan reportase ringan ihwal ritual tradisi budaya bernuansa relijius mitis di sana.

Selanjutnya ketika mengiringi rombongan institusi yang berkompetensi di bidang tugas penyelamatan lingkungan hidup dan kehutanan “angle” alias fokus sudut pandang pemberitaannya adalah upaya pelestarian kawasan pepohonan di daerah pebukitan itu.

Kemudian ketika berkesempatan menyertai suatu kunjungan seremonial pejabat pemerintahan kota Semarang, yang dibahas adalah ihwal kawasan Goa Kreo dari sudut pandang potensinya sebagai destinasi pariwisata.

Ya, pada saat itulah kiranya penulis pertama kali mendengarkan gagasan tentang rencana pengembangan Goa Kreo sebagai salah satu destinasi wisata yang terintegrasi dalam kawasan kota Semarang yang pada waktu itu sedang dalam tahap awal pemekaran wilayah geografisnya.

Namun demikian, saat pertama kali mendengarkan gagasan tentang rencana  pengembangan kegiatan pariwisata di sana, sempat terbersit rasa pesimistis juga. Bayangkan, pada waktu itu letak Goa Kreo terasa sungguh berjarak terpencil dari pusat keramaian kota. Ya, siapa pula yang mau piknik “rekasa” melewati liak liuk jalan pebukitan yang panas mentari terasa menyengat di siang hari dan gelap gulita di malam harinya? Pepohonan di kanan kirinya jalan kesana pun jarang adanya sehingga terik sinar matahari tak terhalang sama sekali menerpa pejalan kaki dan pesepeda motor. Hamparan ladang dan pekarangan milik warga desa pebukitan itu pun kondisinya tampak gersang di musim kemarau.

Pemandangan bentang alam terbuka di sana  umumnya sungguh bikin mata terasa lelah. Apalagi pada saat tiba di lokasi. Para pengunjung terus menerus diganggu kawanan kera. Khususnya saat sedang beristirahat dan membawa perbekalan konsumsi minuman dan makanan.

Tetua pariwisata Gua Kreo, Mbah Kasno.

Goa Kreo dan Waduk Jatibarang

Kamis, 2 Maret 2023, pukul 15-an: penulis bersama tiga teman wartawan lain yang terdiri Hamim (Panji Nasional), Ari Wibowo (Suara Merdeka) dan Henri (RRI Semarang) bermobil Jip tiba di lokasi Wisata Gua Kreo. Perjalanan ini mengiringi rombongan sejumlah wartawan PWI Jateng yang difasilitasi Bis Listrik milik Pemkot Semarang dalam rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 dan HUT PWI ke 77.

Baca Juga:  Operasi Zebra Candi 2021 di Purbalingga Selesai, Ini Hasilnya

Kedatangan kami dalam cuaca rintik hujan senja hari itu disertai sejumlah pejabat Dishubpar Kota Semarang dan disambut hangat panitia lokal yang terdiri petugas obyek wisata Goa Kreo dan Camat Gunungpati.

Sambutan hangat dengan hidangan lezat dan fasilitas sound sistem bernuansa karaoke di bangunan pendopo yang menyatu dengan gapura selamat datang nan layak nyaman itu sungguh jauh berbeda suasananya dengan keadaannya pada 35 tahun lalu tentu saja. Meskipun demikian “gangguan” kera berseliweran saat bersantap tetap sama seperti keadaan puluhan tahun lalu. Harap maklum, wong itu tempat memang markasnya bangsa kera sejak dahulu kala.

Perbedaan yang signifikan untuk disebutkan sebagai fakta telah berkembang lebih baik itu kian terlihat saat kami berjalan kaki menuruni tangga menuju lokasi inti “Goa Kreo”. Sejauh mata memandang tampak pemandangan sedap hamparan tempat parkir mobil luas nan rapi dikelilingi kios pedagang makanan dan fasilitas urinoir di beberapa titik. Lokasi Goa Kreo pun kini menjadi semacam pulau yang dikelilingi air danau Jatibarang yang sudah berfungsi sejak tahun 2012 sehingga untuk sampai Goa disediakan jembatan orang nan indah dan kokoh. Sebelum sampai ke posisi jembatan pun tersedia semacam Plaza dengan tiang besi tinggi menjulang yang dibuat khusus sebagai fasilitas atraksi ratusan kera berpesta menghibur para pengunjung.

Pujasera Kampung Jawi.

Pemandangan ratusan kera naik turun tali penyangga tiang untuk berebut sajian pisang dan makanan kesukaannya di puncak tiang dan berlatar belakang jembatan dan puncak bukit Goa Kreo yang dikelilingi air danau di rintik hujan sore-sore seperti itu sungguh mempesona.

“Keberadaan kera-kera di Goa Kreo ini tidak lepas dari peranannya selaku pembantu Sunan Kalijaga, saat salah satu tokoh Walisanga itu sedang berusaha mendapatkan sebatang pohon jati guna pembuatan salah satu pilar penyangga Masjid Agung Demak dahulu kala,” demikian keterangan Mbah Kasno, selaku sosok yang dituakan di kawasan Goa Kreo.

Homestay  di desa Kandri

Usai menikmati sajian atraksi kera-kera bertingkah lucu, rombongan 42 wartawan berbagai media dari seluruh Jawa Tengah ini lantas dibagi per kelompok 4 orang yang masing-masing akan di tempatkan di satu rumah warga desa Kandri yang difungsikan sebagai “homestay”.

Pukul 17: penulis dengan tiga orang teman sesama wartawan ini sampailah di “homestay” milik bapak Wahid beserta istrinya, ibu Hindriyani, di antar dua orang “tour guide” yang salah satunya juga bernama Wahid. 

“Silakan istirahat sejenak untuk persiapan penjemputan makan malam nanti jam tujuh nanti, nggih,” demikian pesan mas Wahid saat kami sudah disambut pasangan tuan rumah homestay.

Pukul 19: sebuah bis penjemputan tiba dan kami pun naik untuk selanjutnya menghampiri sejumlah kawan di masing-masing tempat nginapnya yang satu lintasan jalan. Bis jemputan adalah sebuah minibus milik Dishubkominfo berkapasitas sedang dan dikemudikan oleh petugas dishub bernama Agus. 

Baca Juga:  Usai dipenjara 16 Tahun atas Kasus Penyalahgunaan Narkoba, WNA Asal Iran Akhirnya Dideportasi

“Kita akan menuju Kampung Jawi ini, pak. Sekitar dua kilometer dari sini,” tuturnya ramah. 

“Kampung Jawi” adalah semacam warung makan khas masakan Jawa berkonsep pusat jajan serba ada (Pujasera) dalam bentuk bangunan tradisional Jawa berbahan kayu. Letaknya di tengah perkampungan di dusun Kalialang di tepi aliran sungai Kripik, dengan area parkir yang cukup untuk puluhan mobil minibus. 

Sepanjang rute dari homestay sampai ke Kampung Jawi menelusuri jalan perkampungan yang  tampak asri itu sudah disiapkan petugas atur jalan, khususnya di titik-titik persimpangan jalan yang dilalui.

Tim pemandu perjalanan wisata desa itu digawangi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Kandri.

Destinasi kuliner Kampung Jawi tidak menerima pembayaran tunai maupun non tunai elektronik. “Tapi dengan sebutan kepeng yang dapat dibeli di loket sebelum masuk tempat makan. Per kepeng nilainya 3500 rupiah” tutur mas Wachid Kriting yang jadi pemandu dalam shuttle bus yang kami tumpangi.

Suhono (tengah) dan para pejuang Desa Wisata Kandri.

Malam itu penulis menghabiskan sepuluh kepeng untuk ditukarkan dengan menu soto daging sapi dan krupuk serta tambah sepiring gudeg koyor dan minuman air teh hangat manis. “Cukup dengan 35 ribu rupiah perut kenyang dan lidah pun terasa nikmat,” demikian kesan di benak penulis yang sempat ikut bernyanyi dengan iringan grup musik band ala Koesplus. Sungguh malam yang berkesan dalam cuaca temaram dengan rintik hujan.

Seusai makan malam bersama, rombongan pun diantarkan kembali ke homestay masing-masing untuk beristirahat tidur.

Suasana malam hari di homestay ternyata nyaman. Atmosfir keluarga terasa kental. Rupanya pihak tuan rumah sudah dapat brifing teknis pelayanan tamu yang memadai sehingga tidak terkesan kikuk.

Jumat, 3 Maret 2023: pukul enam pagi usai mandi, kami sudah disiapkan hidangan kudapan khas teh hangat dengan camilan ketela goreng. Berlanjut sarapan pagi dengan sayur sop, tempe dan lele goreng dengan sambal. 

“Sungguh terasa seakan berada di rumah sendiri. Bukan sedang bertamu,” ucap teman sekamarku, spontan.

Sarapan disiapkan istri Pak Wahid, sementara si bapak sempat antarkan dulu putrinya ke sekolah. 

Sesaat sebelum datang jemputan shuttle bus, Pak dan Bu Wahid selaku pemilik rumah yang ternyata warga asli Desa Kandri sempat bertutur tentang ke khas an potensi obyek wisata di desanya itu.

 “Di sini sudah ada tradisi sejak jaman dulu yang membuat warga desa terbiasa menerima kunjungan warga luar desa,” ujarnya.

Yaitu, kirab budaya Nyadran Kali. Dalam kegiatan ritual tradisi tersebut rentang waktunya sampai tiga hari berturut-turut sehingga para peserta dari desa-desa sekitar memerlukan tumpangan rumah untuk menginap.

“Selain itu ada juga upacara tradisi mencegah timbulnya hama tanaman pertanian dengan sebutan ritual obang-abing,” ungkap ibu Hindriyani alias bu Eni di kalangan tetangganya.

Pukul 08 pagi rombongan wartawan Jateng peserta Pers Tour HPN di desa Wisata Kandri berkumpul di rumah pintar Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Kandri. Bangunan berarsitektur Joglo Jawa ini berupa aula pertemuan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat informasi kegiatan pariwisata desa ini. Tampak sudah datang dua orang narasumber dialog kepariwisataan. Salah satunya adalah Herman, seorang akademisi, dosen Pariwisata di Universitas Semarang dan yang satunya lagi Agus Kariswanto, Kepala Sub Informasi Budaya dan Pariwisata Dishubpar Kota Semarang.

Baca Juga:  Sejak Diminta Mengundurkan Diri Oleh Pihak SMAN 1 Pabelan, FNS Tak Lagi Sekolah dan Terancam Gagal Ikuti UN Tahun Ini

Kedua orang itu dihadirkan untuk dapat menggali pemikiran para wartawan guna kemajuan kepariwisataan.

Herman mengakui kalau peranan pers sangat vital dalam kegiatan usaha pariwisata. “Tanpa dukungan dari media massa dan teman-teman wartawan dapat dipastikan kegiatan usaha pariwisata tidak akan mampu berumur panjang, ” tutur Herman yang sebelumnya sempat berkarir di bidang perhotelan dan biro perjalanan wisata itu.

Tentang keberadaan Desa Wisata Kandri, Herman mengatakan, berangkat dari terbitnya SK Walkot Semarang pada tahun 2012. “Sepengetahuan saya ada tiga Desa Wisata dibentuk, salah satunya desa Kandri,” katanya.

Adapun dia bilang, dalam usaha pariwisata jenis apapun, keadaan kebersihan seluruh fasilitas obyek wisata merupakan faktor utama yang menentukan sebagai modal daya tarik pengunjung. 

“Dalam hal Desa Wisata maka selain kebersihan diperlukan juga adanya atmosfir yang nyaman di homestay sebagai penentu keberhasilan,” ungkap dia.

Sementara itu saat berbicara mewakili ibu Walkot Semarang, Agus Kariswanto, menerangkan ihwal rencana besar untuk segenap sudut Kota Semarang untuk destinasi wisata.

“Motonya adalah mewujudkan kota Semarang sebagai tempat nyaman bagi segenap warganya dan juga bagi wisatawan. Untuk itu perlu ditanamkan keyakinan bahwa Tuhan sedang berbahagia saat menciptakan daerah Semarang, ” ujarnya beranalogi.

Dikemukakan, menurut data 10 tahun terakhir yang dimilikinya, jumlah kunjungan wisatawan ke Jateng nama kota Semarang berada di urutan pertama. Melampaui jumlah kunjungan wisata ke Candi Borobudur, katanya. “Selanjutnya mari kita konsep untuk dapat meningkatkan lamanya waktu kunjungan wisatawan ke Semarang, ” pintanya.

Pejuang Wisata Desa Kandri

Kesan dari Pers Tour sehari semalam di Desa Wisata Kandri adalah kerapihan manajemen pelayanan rombongan tamu. Mulai dari penjemputan sampai pengantaran ke segenap lokasi acara. Bahkan demikian detail sampai kepada pengaturan di  persimpangan jalan yang akan dilalui rombongan.

“Kami mengerahkan setidaknya 20 pemandu dari unsur karangtaruna dalam melayani rombongan wartawan sejumlah 42 orang ini, mas,” ucap Suhono (40) yang di Karang Taruna setempat di posisi Seksi Pengembangan Desa Kandri merangkap marketing sekaligus pemandu.

Ia mengatakan, mulai merintis sosialisasi usaha pariwisata Desa ini sejak 2012. Seiring berfungsinya waduk Jatibarang yang membuat warga desa sekitar kehilangan pencarian awalnya selaku petani ladang.

Diakuinya, pada awalnya memang sulit meyakinkan warga desa bahwa desanya bisa jadi obyek wisata. “Namun, saat mulai banyak tamu berdatangan maka mereka ikut optimis,” cetusnya.

Dikatakan, pada tahun 2018 sempat terjadi booming kunjungan wisatawan Desa Kandri. ” Mencapai jumlah kunjungan 12 ribu orang. Dengan nilai paket per orang 80 ribu saat itu maka total nilainya sampai 1, 2 milyar rupiah, ” pungkas Suhono. Dapat dikatakan Suhono lah salah satu pionir perjuangan pengembangan usaha Desa Wisata Kandri. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!