Air Tak Pernah Surut, Warga Kendal Gelar Nyadran Kali Penuh Makna
Laporan: Wahono
TEMANGGUNG | HARIAN7.COM – Warga Dusun Kendal, Desa Gandon, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, kembali menggelar tradisi sakral Nyadran Kali di mata air Kali Kantil dan Kali Umbul, Jumat (22/8/2025).
Ritual turun-temurun ini selalu digelar setiap bulan Sapar pada hari Jumat, sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat air yang tak pernah surut, bahkan di musim kemarau panjang.
Pendo’a, Saeri, menyebut Nyadran Kali bukanlah bentuk pemujaan kepada roh halus, melainkan ungkapan syukur kepada Allah SWT.
“Kami harapkan tradisi nyadran kali ini bisa menjadi salah satu tradisi yang tidak akan pernah mati. Bukan lantas ini syirik memuja sama danyang atau jin, tetapi ini wujud bersyukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan, rezeki, bukan hanya air saja tetapi berujud rezeki lainnya,” ujarnya.
Warga datang berbondong-bondong sejak pagi buta, membawa ambeng berisi ingkung dan nasi tumpeng. Usai doa bersama, mereka membersihkan area mata air sebagai simbol merawat alam dan lingkungan.
Saeri menuturkan, Kali Kantil dan Kali Umbul diyakini sebagai sumber kehidupan.
“Selama ini Kali Kantil Dan Kali Umbul menjadi salah satu sumber mata air yang tidak pernah mati di saat musim kemarau, bahkan jika sumur sumur yang lain pada mati, Kali kantil Dan umbul tidak pernah mati. Konon menurut para leluhur Kali Kantil Dan Kali Umbul merupakan tempat tinggal Dewi Titisari, yang selalu menggunakan baju warna hijau gadung. Dan disertai pusaka godo besi kuning,” katanya.
Meski hasil panen kopi, jagung, beras, dan cabai tahun ini tak sesuai harapan, para petani Kendal tetap menggelar Nyadran Kali dengan penuh khidmat.
“Meskipun hasil panen tahun ini tidak seperti yang diharapkan, para petani tetap mengelar tradisi nyadran kali ini,” ucap Saeri.
Selain doa syukur, warga juga memanjatkan doa untuk para leluhur pendiri Dusun Kendal, yakni Simbah Abral dan Simbah Citro Suto.
“Ritual Sadranan Dusun Kendal ini sudah berlangsung secara turun temurun,” jelas Saeri.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa tradisi ini bukan sekadar menjaga warisan budaya, tetapi juga pesan moral agar manusia selalu menyatu dengan alam.
“Sebagai warga, kami setiap hari berbaur dengan alam, mereka juga harus merawat dengan baik sehingga alam dan lingkungan serta mata air melimpah rahmat dari Allah ini bisa terus terjaga hingga anak cucu,” pungkasnya.(*)
Tinggalkan Balasan