Diduga Belum Ada Kesepakatan Tertulis Program IRPOP di Desa Dawuhan Bermasalah dengan Ahli Waris
Laporan : Tim
NGANJUK | HARIAN7.COM – Warga Desa Dawuhan, Kecamatan Jatikalen, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, dihebohkan dengan adanya dugaan belum adanya kesepakatan tertulis program Irigasi Perpompaan (IRPOP) di desa tersebut. Pasalnya program tersebut belum ada kesepakatan dengan ahli waris pemilik tanah yang digunakan untuk IRPOP, dan ahli waris merasa tidak setuju dengan pelaksanaan program tersebut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun awak media, program IRPOP di Desa Dawuhan telah dilaksanakan beberapa waktu lalu, namun hingga kini belum ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh ahli waris dan pihak desa. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan ahli waris.
“Belum ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh ahli waris, sehingga kami merasa tidak aman dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tanah dan aset kami,” ujar salah satu ahli waris, Mud.
Masalah ini diduga disebabkan oleh kurangnya komunikasi dan koordinasi antara pihak desa dan ahli waris. Pihak desa diyakini telah melaksanakan program IRPOP tanpa memperoleh persetujuan tertulis dari ahli waris.
Koyum, Kepala Desa Dawuhan, Nganjuk, saat dihubungi via whatsapps mengatakan, bahwa bangunan IRPOP memang berdiri mulai bulan Desember tahun 2024 di atas tanah milik warga, dan sudah kesepakatan meskipun tidak tertulis.
“Sebetulnya, begini minta beliau yang punya lahan ini, setelah Mbah Sur tidak ada, itu minta operasi atau tidak oprasi tetep minta kompensasi bukan perjam tapi minta perhari, makanya itu insyaallah tidak ada masalah,” ungkap Koyum.
Saat ditanya berapa mereka meminta kompensasi perhari, Kades menjawab, bahwa itu tidak perlu saya sebutkan, nanti kalau untuk pemberitaan saya gak seneng.
Pada Selasa, (18/11/2025) saat tim media bertandang ke kantor Desa Dawuhan, Kades menjelaskan, bahwa untuk anggaran pembangunan IRPOP itu sebesar Rp112 juta dengan panjangya paralan 1.500 meter dan di ujungnya itu ada Dam sungai yang nantinya di saat musim kemarau bisa kita bendung airnya, dari situ warga bisa ambil airnya dengan diesel atau alat pompa pribadinya.
“Sampai saat ini memang belum sempat beroperasi, karena ini juga masih musim hujan, tegas Koyum,
Untuk kompensasi, menurutnya pemilik lahan diberi sebesar Rp 5 ribu perjam, namun pemilik lahan tidak mau, dan meminta Rp 12.5 ribu perjam. Jika di kalikan 24 jam jadi Rp 300.000, negosiasi ini yang belum deal, sehingga kita masih menunggu untuk bisa duduk bersama lagi.
Saat tim media menghubungi salah satu ahli waris yang bernama Mud via whatsapps mengatakan, bahwa sampai sekarangpun belum ada kesepakatan. Terakhir pihak ahli waris minta harga Rp7500/jam sistem sewa lahan, tapi pihak Desa tetap menawar harga awal Rp5000/jam dengan sistem hanya bila beroperasi baru dihitung, dan bila tidak ya tidak bayar. “Kami selaku ahli waris menolak penawaran tersebut, dan kami minta agar segera dipindahkan, kami kasih waktu untuk segera dipindahkan,” katanya.
Bilamana tidak segera dipindahkan, tegas Mud, maka kami akan menempuh jalur hukum, soalnya saya berencana mau bikin laporan resmi ke pihak kepolisian. 
“Waktu ada kumpulan bareng di kantor desa pihak PPL mengatakan tarif pengairan yang diterapkan terhadap petani berkisar 15-20 ribu, bukan 15 ribu, soalnya saya juga hadir waktu itu,” tandasnya,
Ia menekankan, bahwa waktu pembangunan itu belum ada persetujuan, tiba-tiba sudah ada bangunan, dan kami mempertanyakan ke pihak desa, karena sampai sekarangpun belum ada kesepakatan.
“Hingga kini belum ada kesepakatan yang tercapai, sehingga masalah ini masih berlanjut,” imbuh Mud.
Masalah ini diharapkan dapat segera diselesaikan dengan cara yang baik dan adil, sehingga tidak menimbulkan konflik yang lebih luas di kalangan masyarakat Desa Dawuhan. (*)












Tinggalkan Balasan