Pisah Jalan Pemilu: Muh Haris Sambut Putusan MK sebagai Peluang Reformasi Demokrasi
Laporan: Muhamad Nuraeni
SALATIGA | HARIAN7.COM – Dalam lanskap politik yang tengah bersiap menata ulang panggung pemilu, Muh Haris, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, menyambut hangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Putusan itu, menurutnya, bukan sekadar perubahan jadwal teknis, tetapi langkah strategis untuk memperkuat demokrasi dari pusat hingga ke daerah.
Dalam kunjungan kerja ke Dapil Jawa Tengah 1 di Kota Salatiga, Jumat, 27 Juni 2025, Haris memaparkan potensi dampak besar dari putusan tersebut terhadap arsitektur politik nasional. “Ini menarik, karena dengan putusan MK, implikasinya DPR RI harus segera merevisi Undang-Undang Pemilu untuk 2029. Skemanya nanti akan ada dua kali pemilu serentak,” terangnya kepada harian7.com, saat jumpa pers di Soto Tawang, Sidomukti, Kota Salatiga, Jumat (27/6/2025).
Politikus yang pernah menjabat sebagai Wakil Wali Kota Salatiga dua periode itu menyebutkan, skenario ke depan akan dimulai dengan pemilu nasional pada 2029 untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. Dua tahun berselang, pada 2031, barulah digelar pemilu lokal untuk memilih kepala daerah—Gubernur, Bupati, dan Wali Kota—serta anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam masa transisi menuju skema baru ini, Haris menekankan pentingnya regulasi penunjang. Ia menyoroti perlunya penataan ulang masa jabatan dan pengisian posisi sementara. “Formulasi yang tepat menurut saya, jabatan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bisa dijabat oleh PJ (Pejabat) selama 2 sampai 2,5 tahun. Sementara DPRD provinsi dan kabupaten/kota diperpanjang masa jabatannya selama dua tahun,” katanya.
Menurutnya, ini solusi adil dan realistis yang tetap menghormati kontribusi para legislator daerah selama ini.
Ia pun mendorong DPR RI agar segera merumuskan kerangka hukum baru demi memastikan kelancaran pelaksanaan pemilu yang terbagi dua tersebut. Baginya, penataan ulang ini lebih dari sekadar penyesuaian waktu, melainkan peluang memperkuat substansi demokrasi itu sendiri.
“Kalau pilpres dan DPR RI itu isu nasional. Tapi saat pilgub atau pilkada, yang diangkat adalah isu lokal. Jadi pemilih lebih fokus menentukan calon pemimpin yang tepat, sesuai kebutuhan daerah masing-masing,” sebut Haris.
Ia menyebut pemisahan jadwal pemilu sebagai peluang memperbaiki sistem yang selama ini kerap tumpang tindih. Dengan pembagian agenda nasional dan lokal yang lebih jelas, Haris percaya akuntabilitas dan kualitas kepemimpinan di tiap level pemerintahan akan lebih terjaga. Putusan MK ini, kata dia, adalah pintu pembuka untuk membenahi demokrasi Indonesia secara lebih utuh dan mendalam.(*)












Tinggalkan Balasan