Perang Dagang Jilid Dua Kembali Meletus! Trump Tancap Gas, Beijing Membalas dengan Gertakan Tarif dan Embargo Logam Langka
JAKARTA | HARIAN7.COM – Retorika proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi bara pemicu dalam kancah perdagangan global. Setelah sempat mereda, perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan China—kembali meletus. Pemicunya tak lain adalah kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariff yang diumumkan Trump pada awal April 2025.
Trump, dalam gaya khasnya yang frontal, menetapkan tarif sebesar 34 persen terhadap produk-produk asal China. Negara-negara lain, termasuk sejumlah mitra dagang utama AS, ikut terkena imbas. Dalam konferensi pers di Gedung Putih pada Rabu, 2 April 2025, Trump bahkan memajang poster besar berisi daftar tarif baru. Di dalamnya tercantum tarif dasar 10 persen untuk seluruh impor ke AS dan tarif khusus untuk mitra dagang tertentu: Uni Eropa 20 persen, Vietnam 46 persen, Kamboja 49 persen, dan Indonesia 32 persen.
China bereaksi keras. Beijing, yang pernah mengalami benturan serupa pada 2018-2019 silam, langsung membalas. Kementerian Keuangan China menyatakan akan mengenakan tarif balasan sebesar 34 persen atas seluruh produk asal Amerika Serikat, berlaku mulai 10 April 2025. “Tarif tersebut akan berada di atas tarif yang berlaku saat ini,” demikian keterangan resmi dari Kementerian.
Tak berhenti di sana, China juga mengetatkan kontrol atas ekspor bahan baku penting ke AS, terutama logam tanah jarang yang krusial bagi industri teknologi dan militer. Komoditas seperti samarium, gadolinium, terbium, diprosium, lutetium, scandium, dan itrium mulai dibatasi ekspornya per hari ini. Selain itu, China menambahkan 16 perusahaan asal AS ke dalam daftar pengawasan ekspor dan mengklasifikasikan 11 entitas sebagai “kurang terpercaya.”
“Tujuan penerapan kontrol ekspor terhadap barang-barang relevan sesuai dengan hukum adalah untuk lebih menjaga keamanan dan kepentingan nasional, dan untuk memenuhi kewajiban internasional seperti non-proliferasi,” demikian pernyataan dari Kementerian Perdagangan China.
Di balik perang tarif ini, Trump berdalih langkahnya dilandasi semangat memperjuangkan keadilan perdagangan. Ia menyebut defisit perdagangan kronis sebagai ancaman langsung terhadap ketahanan nasional dan ekonomi AS. “Sebagaimana terindikasi pada defisit tahunan perdagangan barang AS yang besar dan terus menerus, hal ini merupakan ancaman yang luar biasa terhadap ketahanan nasional dan ekonomi AS,” ujar Trump dalam pernyataan resmi Gedung Putih, Kamis, 3 April 2025.
Trump tak segan menyalahkan ketimpangan tarif dan hambatan non-tarif dari negara mitra dagang sebagai biang keladi kerapuhan manufaktur AS. Dalam pengumumannya, ia menegaskan bahwa tarif baru ini adalah bagian dari koreksi terhadap “ketimpangan dagang yang tidak adil.” Ia mengklaim defisit perdagangan AS telah melonjak lebih dari 40 persen dalam lima tahun terakhir, mencapai US$1,2 triliun pada 2024.
Proses penyusunan kebijakan tarif ini berlangsung sejak hari pertama Trump kembali duduk di Gedung Putih pada 20 Januari 2025. Ia memerintahkan investigasi menyeluruh terhadap praktik dagang negara-negara mitra. Pada 13 Februari, ia menandatangani memorandum untuk meninjau ulang hubungan dagang yang dinilai tak resiprokal. Laporan akhir dari tim ekonomi Gedung Putih diterimanya pada 1 April 2025—yang kemudian menjadi dasar kebijakan tarif terbaru.
“Tarif dasar 10% akan mulai berlaku mulai hari Sabtu [5 April 2025],” kata seorang pejabat Gedung Putih yang enggan disebut namanya kepada Reuters. Ia menambahkan, hukuman dagang ini akan menyasar hingga 60 negara. Kanada dan Meksiko, dua mitra dagang besar AS, bahkan telah lebih dulu dikenai tarif 25 persen untuk berbagai produk.
Dengan babak baru perang dagang ini, dunia pun kembali menahan napas. Seperti halnya konflik dagang sebelumnya, eskalasi kali ini dikhawatirkan akan menyeret ekonomi global dalam ketidakpastian baru. Beijing dan Washington kini sama-sama menggenggam korek api—dan siap melemparkan percikan terakhir.(Yuanta)
Tinggalkan Balasan