Puluhan Pemuda Papua Duduki Rumah Bos Tambang di Salatiga, Tuntut Keadilan atas Kerusakan Hutan Adat
![]() |
Puluhan warga Papua menduduki rumah bos tambang emas. (Foto: Istimewa) |
Laporan: Muhamad Nuraeni
SALATIGA | HARIAN7.COM – Puluhan pemuda dan mahasiswa asal Papua menduduki rumah Nicholas Nyoto Prasetyo, pemilik perusahaan tambang emas, di Jalan Merdeka Selatan No. 54, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Mereka menggelar aksi protes keras terhadap kegiatan tambang yang merusak hutan adat mereka.
Kedatangan mereka bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban dari Nicholas atas kegiatan tambang yang telah merusak hutan adat milik Yohan Jasa di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Papua.
“Tim Pak Nicho membabat hutan adat tanpa izin. Awalnya, menawarkan kerja sama bagi hasil. Tapi, belum ada kesepakatan, alat berat sudah datang dan membersihkan pohon pinang dan mangga serta lahan hutan adat,” ungkap Marten Basau, perwakilan pemilik hutan adat, kepada wartawan di Kota Salatiga, Jumat (21/6/2024).
Marten menjelaskan, aksi protes ini tidak bertujuan untuk mengganggu ketenangan bos tambang yang dikelola oleh Koperasi Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup. Namun, mereka ingin menjalin komunikasi agar memperoleh titik temu.
Dia mengaku bahwa total lahan hutan adat yang rusak mencapai 1,8 hektare akibat aktivitas tambang emas yang saat ini sedang dalam tahap persiapan alat-alat berat di lokasi.
“Saya datang menuntut keadilan. Semula dijanjikan ketemu di Jakarta, tapi tidak jadi. Lalu, kami datanglah ke Salatiga. Itu tanah milik kepala suku di Sawe Suma. Sebelumnya, kami juga melapor ke Polres Jayapura,” jelasnya.
Marten menambahkan bahwa kerusakan hutan adat yang melibatkan perusahaan tambang asal Kota Salatiga ini sempat dimediasi oleh Polres Salatiga, namun tidak membuahkan hasil. Sebelum ditemui oleh Nicholas, Marten bersama puluhan pemuda Papua akan tetap bertahan. Jika tidak ada hambatan, pemilik hutan adat yang dirusak akan hadir di Kota Salatiga.
“Kami mewakili pemilik lahan meminta ganti rugi sebesar Rp20 miliar. Selain rusak, juga berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Kami dituding ada pemukulan saat mediasi, semua itu tidak benar,” tegasnya.
Secara terpisah, Kapolres Salatiga AKBP Aryuni Novitasari mengungkapkan bahwa permasalahan kerusakan hutan adat di Papua yang melibatkan pengusaha asal Salatiga telah dilakukan mediasi.
AKBP Aryuni memaparkan bahwa proses mediasi sendiri telah dilakukan sebanyak dua kali, hanya saja belum tercapai kesepakatan dari kedua belah pihak.
“Kita berharap masalah ini tidak meluas. Kami ingin masalah yang ada tercapai rasa keadilan dan keamanan bersama agar wilayah Salatiga kondusif. Soal nominal belum ada solusi,” jelasnya.(*)
Berita terkait:
Tinggalkan Balasan