Kades Menyerahkan Keputusan Kenaikan Tunjangan BPD Ke Bupati, Asalkan tidak di Alokasikan Dari Hasil Pengelolaan Tanah Bengkok
Paguyuban BPD Kabupaten Kendal.
KENDAL,harian7.com. Kali kedua rancangan Peraturan Bupati Kendal tentang Tunjangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dibahas. Rapat pembahasan berlangsung di ruang kerja kepala Dispermasdes, pada Jum’at (26/11); dimulai pukul 08.00 WIB dan berakhir satu jam menjelang sholat Jum’at.
Pembahasan kali ini tidak mengikutsertakan Asisten Pemerintahan dan Kesra, Kabag Hukum dan Kabag Pemerintahan Setda Kendal seperti pada pembahasan sebelumnya (16/11). Dilakukan secara terbatas, diikuti oleh pejabat Dispermasdes, unsur paguyuban BPD, paguyuban kepala Desa dan paguyuban perangkat Desa. Rapat dipimpin oleh Plt. Kepala Dispermasdes, Sudaryanto, ST. M.Si.
Usai rapat, kepada wartawan Sudaryanto menyampaikan, bahwa; “melalui pertemuan ini terlebih dahulu kita kumpulkan pihak-pihak terkait, supaya pada rapat pembahasan di Pak Asisten nantinya lebih enak”.
Saat di desak oleh harian7.com, Rapat pembahasan terbatas tersebut menghasilkan pasal-pasal mana saja yang sudah disepakati, dan mana yang belum.
“Untuk yang belum disepakati, maka akan dibawa ke rapat pembahasan yang akan diselenggarakan oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra”, ujar Sudaryanto yang juga menjabat Sekretaris Dispermasdes.
Sama dengan pembahasan sebelumnya, dimana paguyuban kepala Desa tidak mau kalau tunjangan kedudukan BPD dialokasikan dari hasil pemanfaatan tanah bengkok. Pada pembahasan kali ini, paguyuban kepala Desa juga mengusulkan supaya tunjangan kinerja BPD tidak dialokasikan dari hasil pemanfaatan tanah bengkok.
Ditanya perihal usulan kepala Desa tersebut, Sudaryanto berkata, “bukan tidak mau ya, kan saat ini masih pembahasan, sifatnya masih dinamis, jadi kami belum bisa menyampaikan keterangan yang pasti”.
Selanjutnya Sudaryanto menegaskan; “Kalau kepala Desa menolak (red: mengusulkan tunjangan BPD jangan dari hasil pemanfaatan tanah bengkok), itu ditanyakan saja ke kepala Desa”.
Menanggapi polemik sumber anggaran tunjangan BPD tidak boleh dari hasil pemanfaatan tanah bengkok; Sumardi Arahbani, anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Kendal Bidang Hukum dan Tata Pemerintahan, menyampaikan; “Perihal penggunaan hasil pemanfaatan tanah bengkok ini merupakan pertaruhan aparatur Pemerintah Desa”.
Selanjutnya Sumardi menerangkan; “sebagaimana ketentuan dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksananya, tanah bengkok ditegaskan sebagai aset Desa, masuk kelompok Tanah Kas Desa (TKD); hasil pengelolaannya diterima dan disalurkan melalui Rekening Kas Desa (RKDES) menjadi sumber pendapatan asli Desa (PADes); dan penggunaannya dianggarkan dalam (APBDES)”.
Penganggaran pada APBDes pada semua bidang dan kegiatan, termasuk didalamnya dapat untuk tambahan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa. Penggunaan untuk tambahan tunjangan tersebut hukumnya dapat atau boleh, tetapi tidak wajib (Pasal 100 ayat 3 PP 11/2019). Tambahan tunjangan tersebut diberikan dalam bentuk uang, bukan tanah garapan.
“Ketentuan dasar tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 72 ayat (1) huruf a UU Desa dan Pasal 91 & 92 PP 43/2014. Aturan ini secara jelas menegaskan bahwa tanah bengkok bukan lagi sebagai tanah jabatan (apanage) yang melekat pada aparatur pemerintah Desa”, terang Sumardi yang merupakan alumni FISIP UNDIP tersebut.
Penegasan bahwa tanah bengkok bukan lagi sebagai tanah jabatan, melainkan menjadi sumber PADes yang penggunaannya pada semua bidang dan kegiatan tersebut, konsekuensi dari pengaturan hak keuangan kepala Desa dan perangkat Desa dalam UU Desa (Pasal 66 UU Desa, Pasal 81 dan 82 PP 43 Tahun 2014).
Di kabupaten Kendal, rencana penggunaan hasil pemanfaatan tanah bengkok untuk selain tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa sudah sejak tahun 2016. Laman portal resmi Pemkab Kendal (Kendalkab.go.id; Senin 09 Mei, 2016) memuat berita rencana penggunaan hasil pemanfaatan tanah bengkok maksimal 90% untuk tambahan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa.
Menanggapi rencana kenaikan tunjangan BPD, Sumardi menjelaskan; “ADD yang diterima desa-desa di kabupaten Kendal sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan kenaikan besaran tunjangan kedudukan BPD untuk ketua BPD menjadi sebesar Rp. 750 ribu perbulan (25% dari Siltap kepala Desa) hingga Rp. 900 ribu perbulan (30% dari Siltap kepala Desa”. Bahkan, menurutnya, bisa sampai 35% dari Siltap Kades, kalau pengelolaan keuangan desa terkonsolidasi dengan baik dan benar.
Ketercukupan itu dengan syarat, urutan prioritas penggunaan ADD sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang dikeluarkan Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri. “Yang berlaku saat ini, belanja kegiatan yang urutan prioritas-nya berada jauh di bawah tunjangan dan operasional BPD, lebih didahulukan. Prinsip penganggaran yang ada dalam PTO diabaikan”.
Sepandangan dengan Sumardi, sekretaris Paguyuban BPD, Suardi, S.Sos. MAP pada pembahasan sebelumnya (16/11), berdasarkan surat Dirjen Bina Pemdes Kemendagri tentang PTO Pengelolaan Keuangan Desa tertanggal 5 November 2021, menyampaikan, “urutan prioritas pengalokasian ADD adalah : (1) Siltap kepala Desa dan perangkat Desa, (2) BPJS Kesehatan kepala Desa dan perangkat Desa, (3) Tunjangan BPD dan Operasional BPD, (4) Insentif RT dan RW; dan urutan prioritas terakhir (5) operasional pemerintah Desa”.
Merujuk PTO Pengelolaan Keuangan Desa tersebut, Suardi menyampaikan, bahwa; “tunjangan kedudukan BPD dan operasional BPD itu berada pada urutan prioritas nomor 3”. Kalau ketentuan ini diikuti, maka kenaikan tunjangan kedudukan BPD sangat bisa dianggarkan dari ADD.
Melalui rapat pembahasan paguyuban BPD Kendal mengusulkan, besaran tunjangan kedudukan BPD setiap bulan paling sedikit 30% paling banyak 50% dari penghasilan tetap kepala Desa yang diterima setiap bulan. “Kami mengusulkan metode prosentase, bukan nominal angka”, tegas Suardi, yang juga salah satu pejabat administrator di Pemkab Kendal.
Terkait kompilasi data bahwa tunjangan BPD bisa naik sampai 35%, Plt. kepala Dispermasdes, Sudaryanto mengatakan; “Kalau ADD, masing-masing desa kan alokasinya berbeda. Jumlah aparatur Pemerintah Desanya juga berbeda-beda, ada yang jumlahnya sedikit ada yang banyak. Karena itu, saat ini kami belum bisa memberikan keterangan pasti.”
Sebagai catatan, saat ini anggaran yang ditransfer ke Desa yang tertuang dalam APBD Kabupaten Kendal, termasuk di dalamnya ADD, antara Rp. 400 miliar sampai Rp. 500 miliar setiap tahunnya. Besaran APBD Kendal sendiri sekitar Rp. 2,4 trilun. Jadi, desa-desa di kabupaten Kendal saat ini mengelola anggaran lebih dari 25% dari yang dikelola pemerintah Daerah.
Tanggapan berbeda perihal rencana kenaikan tunjangan BPD akan diatur dalam Peraturan Bupati disampaikan H. Muhkalil, kepala Desa Wonosari Pegandon; “Sebenarnya saat ini tunjangan BPD sudah tercantum dalam Peraturan Bupati. Yaitu Peraturan Bupati Kendal tentang Indeks Harga Kegiatan di Desa”, ujarnya.
Mukhalil menanyakan dasar hukum tunjangan BPD yang akan diatur dalam bentuk prosentase; ia mengatakan “Pijakan hukum untuk prosentase tunjangan BPD tidak ada dalam petaturan di atasnya (red: Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri)”.
Selanjutnya ia menerangkan; “Ini berbeda dengan penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa, yang aturannya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah”. Mukhalil menyebut PP No. 11 Tahun 2019 sebagai dasar hukum Penghasilan Tetap Kepapa Desa dan perangkat Desa paling sedikit setara gaji PNS Golongan 2A.
Mengutip Peraturan Pemerintah, Mukhalil menjelaskan; “Posisi penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa menduduki urutan prioritas teratas. Kalau tunjangan BPD harus ditetapkan dalam prosentase melalui Peraturan Bupati, apa ADD cukup?”.
Menurutnya rencana kenaikan tunjangan BPD itu akan membebani keuangan Desa, “walaupun jika ADD tidak cukup bisa menggunakan sumber pendapatan lain. Karena kemampuan keuangan yang dimiliki setiap desa berbeda-beda”, terang Mukhalil.
Mukhalil mencontohkan keadaan desa Kediten kecamatan Plantungan yang jumlah perangkat Desa-nya 20 orang. Dimana, ADD nya tidak cukup untuk membayar Siltap, dan harus dibantu lewat Bantuan Keuangan Khusus ke Pemdes dari APBD. Ia mencontohkan pula desa Kartikajaya, Patebon yang kepala Desa-nya tidak punya tanah bengkok, untuk mencukupi operasional Pemdes saja kesulitan.
Selain dua desa tersebut; lebih lanjut Mukhalil mengatakan; “masih banyak desa tidak memiliki tanah bengkok, tanah bondo deso dan sumber pendapatan lainnya. Sementara ADD-nya sudah megap-megap (red: tidak cukup). Untuk memenuhi kebutuhan Siltap dan tunjangan BPD harus diambilkan dari sumber lain, selain ADD”.
Mewakili suara paguyuban Kepala Desa, Mukhalil meminta kalau memang tunjangan BPD akan dinaikkan Pemkab harus memikirkan solusinya. “Kalau saya sih monggo kalau itu kebijakan dari Kabupaten, tetapi harus dicarikan solusinya. Kalau itu dituangkan dalam Peraturan Bupati. Uagnya dari mana?”, tanya Mukhalil.
Menanggapi polemik rencana kenaikan tunjangan BPD, khususnya penolakan kepala Desa supaya tunjangan kedudukan BPD tidak dialokasikan dari hasil pengelolaan tanah bengkok, pada berita sebelumnya ketua BPD Kartika Jaya, Joko Basuki menilai, “Kepala Desa dan Perangkat Desa tampak semakin lupa diri, karena sudah merasa nyaman dengan kebiasaan yang sudah berjalan”.
Berlindung di balik adat istitiadat, ketentuan aturan yang dibuat Pemerintah tidak dijalankan. “Tetapi seiring waktu, BPD semakin menata diri dengan belajar memahami dan mempelajari setiap peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan berani menyuarakan kebenaran”, tegasnya.
“Semisal terkait anggaran operasional dan tunjangan kedudukan BPD, mereka tidak setuju jika anggaran tersebut diambil dari PADes khususnya dari hasil pengelolaan tanah bengkok.” ungkap Joko lebih lanjut. Padahal anggota BPD dan paguyuban BPD tidak pernah muncul pemikiran untuk meminta alokasi tunjangan kedudukan BPD dari hasil pengelolaan tanah bengkok.
Serupa dengan yang disampaikan Joko, ketua paguyuban BPD kecamatan Plantungan, Yusroni; “BPD tidak punya pemikiran tunjangan kedudukan BPD dialokasikan dari PADes hasil pengelolaan tanah bengkok”, jelasnya.
Baik, Joko atau Yusroni menegaskan bahwa, sepengetahuannya, yang dituntut oleh paguyuban BPD kabupaten Kendal adalah supaya peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan aset Desa dijalankan, baik oleh Pemerintah Daerah selaku pembina dan pengawas atau Pemerintah Desa.
Sebagai perbandingan, di kabupaten Pekalongan dan Pemalang dan sejumlah kabupaten lain; pengalokasian hasil pengelolaan tanah bengkok itu tidak hanya untuk tambahan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa. Tetapi, juga untuk kegiatan yang lainnya, seperti untuk bantuan guru ngaji, insentif RT dan RW dan kewenangan Desa lainnya. Di Pekalongan, berdasar Peraturan Bupati, paling banyak 80% hasil pengelolaan tanah bengkok untuk tambahan tunjangan.
Sementara itu Ketua PPDI Kabupaten Kendal, Khumaidi SH, mengatakan bahwa pihaknya sangat mensukung usaha yang dilakukan oleh koleganya, Paguyuban BPD.
“Saya mendukung,” jawabnya sambil pergi.(*)
Tinggalkan Balasan