Polemik di Balik Tembok Sekolah, Ketika Ijazah Ditahan, Masa Depan Dipertaruhkan
![]() |
Ilustrasi. |
Inevstigasi
Laporan: Budi Santoso
NGAWI | HARIAN7.COM β Salah satu sekolah menengah atas negeri di Kedunggalar, kini berada di pusaran masalah. Mulai dari kepala sekolah yang jarang ngantor, dugaan pungutan liar (pungli) dalam pembayaran daftar ulang, hingga kasus yang paling mengejutkan penahanan ijazah siswa yang telah lulus. Masalah ini semakin mencuat setelah wali murid mengadu ke media, mendesak agar hak anak mereka segera dipulihkan.
Anik, warga Desa Kedunggalar, salah satu wali murid yang terdampak, menceritakan pengalamannya dengan penuh kekecewaan. Anak lelakinya, Reha Aditya Putra Aninda, lulusan kelas 12 MIPA 3, belum menerima ijazahnya sementara teman-temannya sudah. Alasan sekolah? Reha dianggap belum mengembalikan sebuah buku pelajaran yang hilang.
“Kami sudah akui bukunya hilang, dan kami siap mengganti biayanya. Tapi pihak sekolah menolak, mereka hanya mau bukunya. Kami sudah berusaha mencari buku itu di berbagai toko, tapi tidak ada yang menjual,” keluh Anik.
βIni untuk kepentingan kerja anak saya di luar negeri. Tanpa ijazah, bagaimana masa depannya?β
Birokrasi yang Menghantui
Ketegangan ini berlanjut ketika Anik dan keluarganya tidak tahu harus melapor ke mana. Mereka khawatir masa depan Reha terancam hanya karena masalah administrasi kecil.
Pamannya, Joko, yang juga seorang pendidik, menegaskan bahwa penahanan ijazah seperti ini tidak dibenarkan menurut aturan pendidikan yang berlaku. “Menahan ijazah siswa yang telah lulus tidak boleh dilakukan, ini jelas pelanggaran,” ujar Joko singkat.
Sementara itu, kepala sekolah DA ketika dimintai konfirmasi melalui pesan WhatsApp, tidak memberikan tanggapan, bahkan setelah beberapa kali dihubungi.
Aturan yang Dilanggar
Kasus ini menjadi semakin terang ketika merujuk pada aturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2020 tentang spesifikasi, teknik, bentuk, dan tata cara pengisian blangko ijazah pendidikan dasar dan menengah.
Aturan ini jelas menyebutkan bahwa satuan pendidikan tidak diperbolehkan menahan ijazah kepada pemilik yang sah dengan alasan apapun. Hal ini juga diperkuat oleh perlindungan hak anak yang diatur dalam UUD 1945, di mana setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi.
Dampak Sosial dan Moral
Kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak, terutama dalam konteks hak anak dan masa depan pendidikan di Indonesia. Tidak hanya menimbulkan dampak psikologis pada siswa dan keluarganya, tindakan seperti ini juga mencoreng citra institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemberdayaan siswa.
Dengan regulasi yang jelas melarang penahanan ijazah, pertanyaannya adalah: Mengapa kasus seperti ini masih terjadi? Apakah praktik semacam ini hanya puncak dari gunung es birokrasi sekolah yang lebih dalam?
Investigasi Lanjutan
Harian7 Investigasi akan terus mengikuti kasus ini dan menyelidiki lebih dalam terkait dugaan pungli dan pelanggaran lainnya. Akankah ada tindakan tegas dari dinas pendidikan, atau akankah praktik-praktik semacam ini terus berlangsung tanpa pengawasan? Yang pasti, masa depan siswa seperti Reha dipertaruhkan di balik pintu sekolah yang seharusnya menjadi tempat pelindung hak-hak pendidikan mereka.(*)
Tinggalkan Balasan