Penulis: Yakub Adi Krisanto – Dosen Fakultas Hukum UKSW
Politik Transaksional antara Pemilih dan Peserta Pemilu dan Potensi Korupsi Elektoral yang Mendegradasi Kualitas Demokrasi Perwakilan #Part II
Part I klik disini
ESAI | HARIAN7.COM – Adapun permasalahan yang berpotensi berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 antara lain (Lati Praja Delmana, dkk., 2020;4-8); pertama, terdapat celah regulasi yang menyebabkan subyek hukum dapat lolos dari jeratan undang-undang.
Kedua, bentuk pemberian politik uang tidak terindetifikasi sebagai kasus politik uang. Ketiga, system pemilu proporsional daftar terbuka menempatkan calon pada ketidakpastian atas keterpilihannya.
Jadi dalam hal ini, politik transaksional terjadi bukan hanya karena tingginya syahwat politik calon pejabat public untuk terpilih dan berkuasa, melainkan juga terdapat titik lemah dalam aturan yang mengatur tentang pemilu.
Dalam tolak tarik antara keinginan berkuasa dan pragmatisme pemilih terbentuklah ruang transaksi dalam tukar menukar dukungan (preferensi) politik dengan jumlah uang tertentu.
Pragmatisme politik pemilih dapat dilihat dengan menggunakan teori Pilihan Rasional (rational choice theory), definisi rasional dalam teori ini adalah tindakan individu dilihat seolah-olah sebagai perimbangan biaya (cost) dengan keuntungan (benefits) sehingga tindakan semata-mata dimaksudkan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi (Zainal Abidin Rahawarin Darma, 2022:15).
Pemilih yang menerima uang sebagai keuntungan, dan calon pejabat public yang mengeluarkan uang menempatkan tindakan tersebut sebagai biaya untuk meraih kekuasaan. Politik uang dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan, tidak semata-mata dari sisi calon pejabat public saja, melainkan dari sisi pemilih atau pemilik hak suara juga mendapatkan keuntungan.
Keuntungan ini dalam jangka panjang yaitu periode 5 (lima) tahun tidak seimbang antara peraih keuntungan calon pejabat dengan pemilih. Pemilih mendapatkan keuntungan ‘sekali jadi’ untuk kurun waktu 5 (lima) tahun.
Sedangkan calon pejabat public, keuntungan dalam pemilu ‘hanya’ keuntungan ‘awal’ yang menjadi dasar untuk memperoleh keuntungan ‘lain’ dalam kurun waktu 5 (lima) tahun.
Tindakan rasional dalam Teori Pilihan Rasional tidak memedulikan apa yang menjadi pilihan actor, atau apa yang menjadi sumber pilihan rasionalnya, tetapi lebih penting adalah sebuah tindakan diambil untuk mencapai sebuah tujuan yang sesuai dengan keinginan tersebut (Zainal Abidin Rahawarin Darma, 2022; 17).
Mengacu pendapat ini maka pemilih pada saat melakukan transaksi tidak mengutamakan kerugian jangka panjang (satu periode, 5 (lima) tahun), namun hanya memikirkan yang bisa diperoleh (keuntungan) dari suatu kegiatan yaitu pemilu. Selain itu, pilihan yang ditentukan tidak menjadi pertimbangan pemilih.
Pemilih hanya mempertimbangkan keuntungan ‘sesaat’ yang bisa diperoleh, apalagi memikirkan dampak atau kerugian bagi dirinya sebagai pemilih dalam suatu kerangka besar system pemilihan pejabat public (pemilu).
Selain Teori Pilihan Rasional, terdapat teori lain yang bisa digunakan untuk mengkaji politik transaksional yaitu Teori Klientelisme. Klientelisme terbentuk dalam patronase politik yang dipahami sebagai system insentif atau sebuah ‘mata uang’ politik yang digunakan untuk membiayai aktivitas politik dan respon politik (Hasrul Hanif, 2009;329).
Zainal Abidin Rahawarin Darma (2022;19) mengemukakan para politisi menggunakan metode klientelistik untuk memenangkan pemilihan dengan membagi-bagikan bantuan, barang-barang atau uang tunai kepada para pemilih, baik individual maupun kelompok-kelompok kecil.
Hopkin (dalam Hasrul Hanif, 2009;330) berpendapat pertama, klientelisme politik digambarkan sebagai distribusi keuntungan-keuntungan yang terseleksi kepada individu atau kelompok yang teridentifikasi secara jelas yang akan ditukar dengan dukungan politik dari penerimanya.
Kedua, klientelisme merupakan sebuah bentuk pertukaran yang sifatnya personal dan biasanya dicirikan dengan adanya sejumlah kewajiban dan bahkan juga adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang di antara mereka yang terlibat.
Berenschot (Zainal Abidin Rahawarin Darma 2022;21, Muhammad Nur Ramadhan dan Jimmy Daniel Berlianto Oley, 2019;171-172) membagi 7 (tujuh) bentuk praktik klientelisme berdasarkan bentuk sumber dayanya. Ketujuh bentuk terdiri atas: (1) kontrak kerja Pemerintah, (2) pekerjaan di Pemerintahan, (3) layanan public, (4) akses ke program kesejahteraan social, (5) dana bantuan social, (6) perizinan, dan (7) uang. Melihat ketujuh bentuk klientelisme berdasarkan sumber dayanya maka dapat dikemukakan bahwa klientelisme terbentuk karena patronase antara klien (pemilih) dengan (fungsionaris) partai politik atau (calon) pejabat public.
Hasrul Hanif (2009;330-331) mengemukakan terdapat dua elemen penting dalam aktivitas klientelisme, yaitu pertama, resiprositas dan kedua, ketidaksetaraan. Pada pertukaran yang terbentuk karena adanya hubungan meniscayakan dua kelompok yang terlibat dalam penyediaan barang dan layanan dan saling berbagi manfaat yang saling menguntungkan dalam kondisi yang relatif saling sukarela. Ketidaksetaraan dalam klientelisme terbentuk karena ada pihak yang superiotas dengan memiliki sumber daya berhadapan dengan pihak yang mengharapkan mendapatkan hasil dari pertukaran yang (akan) dilakukan.
Selain dua elemen diatas, masih terdapat elemen lain sebagaimana dikemukakan oleh Hicken (Zainal Abidin Rahawarin Darma 2022;22) yaitu volition. Volition merujuk pada karakteristik terbentuknya suatu hubungan klientelistik didasari atas kemauan antara pihak yang terlibat. Kemauan para pihak ini merupakan kesukarelaan diantara para pihak, meskipun didalam klientelisme juga terdapat hubungan patron-klien yang kekuatan dan paksaan, kebutuhan dan permintaan, dan kesukarelaan berbasis kewajiban tertentu (voluntary obligation).
Kesukarelaan berbasis kewajiban tertentu inilah yang lebih mengemuka dalam politik transaksional di Pemilu. Pemilih secara sukarela (bahkan pada situasi tertentu menawarkan) menyerahkan preferensi politik mereka untuk ditukarkan dengan materi dalam bentuk uang. Pertukaran ini tidak hanya melibatkan uang, melainkan juga bentuk pertukaran lain yang sifatnya tidak ‘seketika’ dan jangka pendek, seperti tujuh bentuk klientelisme yang dikemukakan diatas.
Bersambung…….