Warga Adat Dayak Desak PT SKD Penuhi Kewajiban Kemitraan dan Hentikan Kriminalisasi
Penulis: Akbari
KALTENG | HARIAN7.COM – Ratusan warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah berunjuk rasa di depan Kantor PT Sapta Karya Damai (PT SKD) di Jalan Jenderal Sudirman Km 45, Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Selasa (8/10/2025). Aksi berlangsung damai namun penuh semangat, menuntut perusahaan sawit itu segera memenuhi kewajiban kemitraan dan menghentikan praktik yang dianggap merugikan masyarakat adat.
Koordinator aksi, Sapriyadi, S.H., pengacara muda sekaligus tokoh masyarakat adat, mengatakan demonstrasi ini merupakan puncak dari kekecewaan masyarakat terhadap PT SKD yang selama bertahun-tahun dinilai abai terhadap kewajibannya. “Ini bentuk akumulasi dari rasa frustrasi kami. Perusahaan selama ini seolah menutup mata terhadap hak-hak masyarakat adat,” ujar Sapriyadi.
Empat Tuntutan Pokok
Dalam orasinya, Sapriyadi menyampaikan empat tuntutan utama yang menjadi dasar aksi tersebut.
Pertama, pelaksanaan kemitraan sesuai Surat Keputusan Bupati Kotawaringin Timur No. 188.45/605/Huk.Ek.SDA/2014. Berdasarkan izin usaha perkebunan itu, PT SKD wajib membangun kebun masyarakat bersamaan dengan kebun inti perusahaan. Namun, setelah lebih dari 11 tahun, kewajiban itu belum juga dipenuhi.
“Masyarakat menilai PT SKD telah melanggar diktum ketiga angka 6 dalam SK tersebut. Jika tidak ada iktikad baik, kami mendesak Bupati segera mencabut izin usaha perkebunan perusahaan,” kata Sapriyadi.
Sebagai solusi, masyarakat adat meminta pengelolaan kebun sawit dialihkan kepada koperasi di tiga desa: Pondok Damar (437,062 ha), Penyang (208,506 ha), dan Natai Baru (1.368,488 ha).
Kedua, masyarakat menuntut pengembalian lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) seluas 219,7 hektare. Lahan tersebut dinilai dikuasai secara sepihak oleh PT SKD tanpa dasar hukum yang jelas. “Penguasaan lahan di luar HGU ini merugikan negara dan masyarakat lokal,” tegas Sapriyadi.
Ketiga, warga menyoroti pelanggaran konservasi lingkungan. PT SKD disebut telah menggarap kawasan lindung di sepanjang sempadan sungai seperti Sei Pudu, Sei Angut, Sei Gentui, Sei Simpang Pelantan, Sei Jangkang, dan Sei Binjai. Padahal, SK Menteri Kehutanan No. 335/Kpts-II/1996 mewajibkan perusahaan menjaga jarak aman minimal 50–200 meter dari badan air.
Keempat, massa menuntut penghentian kriminalisasi terhadap tokoh adat dan warga. Mereka menyoroti kasus Ali Boto, mantir adat Desa Pasir Putih sekaligus Ketua DPC Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) yang ditetapkan tersangka atas laporan PT SKD. Kasus serupa juga menimpa sejumlah warga, di antaranya Jumsa, Raman, Sudin, Prasetyo, Rugio, Yaddi Berti, Uka, Saripin, Burhan, dan Samsudin.
“Ini bentuk pembungkaman terhadap perjuangan masyarakat adat,” ujar Sapriyadi.
Klaim Lahan Tanpa Ganti Rugi
Selain itu, masyarakat adat juga menyoroti penguasaan sepihak PT SKD atas lahan adat tanpa kompensasi. Dari total HGU seluas sekitar 11.382 hektare, hanya 256,65 hektare yang disebut telah dibayar ganti rugi kepada pemilik tanah adat.
“Lebih dari 11 ribu hektare lahan dianggap tanah negara tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat adat,” kata Sapriyadi. Padahal, dalam aturan Kementerian Kehutanan dan Agraria/BPN ditegaskan bahwa lahan yang sudah digarap masyarakat atau menjadi perkampungan tidak termasuk dalam kawasan HGU yang dilepaskan.
Perusahaan Sepakati Dialog Lanjutan
Aksi damai tersebut akhirnya direspons manajemen PT SKD. Pihak perusahaan menandatangani surat kesepakatan bersama dengan perwakilan massa. Dalam kesepakatan itu, PT SKD berkomitmen menyelesaikan seluruh tuntutan melalui musyawarah yang akan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur paling lambat dua minggu setelah aksi berlangsung.
Perusahaan juga menyatakan kesediaannya menyelesaikan perkara hukum yang sedang ditangani Polda Kalimantan Tengah dan Polres Kotim melalui pendekatan restoratif justice dan musyawarah.
Aksi ini menjadi simbol perjuangan panjang masyarakat adat dalam menuntut keadilan agraria, perlindungan lingkungan, dan penghentian kriminalisasi.
“Sudah saatnya pemerintah berpihak pada rakyat, bukan hanya pada korporasi,” tegas Sapriyadi di akhir orasinya.(*)
Tinggalkan Balasan