HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA

Jamasan Keris di Bulan Suro, Warisan Leluhur yang Tak Lekang oleh Zaman, Sarat Makna Filosofis dan Budaya

Laporan: Muhamad Nuraeni

SALATIGA | HARIAN7.COM – Menjelang 1 Suro dalam penanggalan Jawa, sebagian masyarakat yang masih nguri-nguri budaya leluhur mulai disibukkan dengan tradisi sakral: menjamas keris. Tradisi ini bukan sekadar membersihkan bilah senjata pusaka, tapi juga wujud penghormatan terhadap nilai-nilai budaya yang adiluhung.

Hal ini pula yang dilakukan Dekan Bawono, S.Pd., M.H., warga Perum Domas, Salatiga. Ditemui di rumahnya, Kamis (26/6/2025), pria asli Solo ini tampak serius menjamas puluhan bilah keris koleksinya. “Nguri-uri budaya ini mas, menjamas keris merupakan bagian dari kearifan lokal, tradisi dari leluhur yang harus dilestarikan. Ada nilai dan pesan filosofis dari tradisi menjamas ini,” ujarnya.

Dekan dikenal sebagai pemerhati keris di Salatiga. Ia menyimpan puluhan keris dari berbagai era, mulai dari Singasari, Majapahit, hingga Mataram. Koleksi tersebut ia dapatkan dari hasil berburu ke berbagai pelosok daerah. Alumni Jurusan Sejarah UNS ini mengaku sudah sejak lama mencintai warisan budaya tersebut.

Baca Juga:  Sedekah Bumi, Warga Desa Mendiro Gelar Wayang Kulit Semalam Suntuk

Menurutnya, meskipun tradisi menjamas identik dengan bulan Suro, namun sejatinya keris dapat dibersihkan kapan saja jika mulai kotor atau berkarat. “Sedangkan tujuan dari menjamas ini supaya tidak karat dan korosi. Karena jika karat dan korosi, maka keris itu lama-lama akan keropos. Bila rusak maka unsur seni dan keindahannya otomatis akan hilang,” imbuhnya.

Teknik menjamas keris juga tidak bisa sembarangan. Jika hanya sedikit kotor, cukup dilap dengan kain atau kuas yang dicampur minyak. Namun bila korosinya parah, perlu direndam dalam air kelapa, lalu dibilas jeruk nipis, dibersihkan sabun colek, kemudian dibilas air dan diminyaki. Soal minyaknya? Dekan punya rahasia tersendiri.

“Selain mudah didapatkan di toko-toko yang menjual minyak, kita bisa membuat sendiri dengan membuat minyak klentik (dari santan kelapa). Justru minyak alami itu sangat bagus karena awet dan tidak merusak bilah,” jelasnya.

Ia pun menepis anggapan mistis yang menyelimuti tradisi menjamas. “Jadi jangan salah persepsi, memberi minyak itu bukan berarti memberi sesaji atau memberi makan keris. Itu persepsi yang salah. Makna yang terkandung jelas supaya selalu bersih, sehingga awet. Bila awet, seni dan keindahanya terjaga dan bisa diwariskan ke anak cucu sehingga tidak punah. Demikian pula jika keris itu masih utuh dan kokoh, maka fungsi sebagai senjata (tajam) juga bisa terjaga,” tambahnya.

Baca Juga:  SGI Kota Depok Siap Ikut Joging Bareng Ganjar di GBK

Bagaimana dengan cerita soal keris bertuah? Menurut Dekan, itu bergantung pada keyakinan masing-masing. “Memang bagi yang percaya, keris ada yang memiliki tuah atau yoni tertentu. Namun demikian, intinya semua kekuatan itu berasal dari Tuhan YME,” tegasnya.

Sebagai bangsa Indonesia, Dekan mengajak masyarakat untuk berbangga karena keris – bersama wayang dan batik – telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. “Wayang, keris dan batik sudah diakui oleh Unesco (PBB) sebagai warisan budaya dunia. Kita patut berbangga,” tandasnya.

Baca Juga:  Doa Hari Senin untuk Mengawali Pekan dengan Keberkahan

Ia menambahkan, dalam sebilah keris tersimpan nilai-nilai tinggi, bukan sekadar alat pertahanan. “Keris tidak hanya sekedar senjata tajam saja. Di dalam keris ada nilai filosofis, budaya, religi dan sebagainya. Tehnik nenek moyang kita (empu pembuat keris) meski sederhana namun sudah luar biasa, karena sudah bisa meleburkan baja, besi, dan titanium yang memiliki titik lebur yang berbeda-beda ke dalam keris. Inilah kelebihannya yang tidak dimiliki oleh bangsa lain pada massanya,” papar Dekan, yang juga alumni Magister Hukum UKSW Salatiga.

Uniknya, setiap bilah keris memiliki nama atau dhapur dan pamor yang berbeda, dengan makna filosofis masing-masing. “Semisal saja, ada pamor yang bentuknya mirip kulit semangka, maka disebut pamor kulit semongko, ada juga mirip daun blarak (daun kelapa) maka disebut pamor blarak dan sebagainya. Itulah keunikan keris, dari setiap dhapur (jenis) dan pamor memiliki arti filosofisnya masing-masing,” pungkasnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!