Ketika Bom Dijatuhkan di Iran, Panas Membakar Amerika
INTER | HARIAN7.COM –Konflik di Timur Tengah kini memasuki babak baru yang lebih mengkhawatirkan. Amerika Serikat, yang selama ini bermain di balik layar, akhirnya turun langsung ke gelanggang. Dalam serangan udara pada 21-22 Juni 2025, tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—dibombardir oleh pesawat siluman B-2 milik Angkatan Udara AS. Bom-bom bunker-buster dijatuhkan dalam misi terpadu bersama Israel yang mengubah peta konfrontasi Israel-Iran secara drastis.
Presiden Donald Trump, yang kembali menjabat, menyebut operasi ini sebagai keberhasilan strategis. “Serangan tersebut sukses, pesawat pulang aman, dan saya berharap ini memaksa Iran meredam intensitas konflik,” kata Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.
Namun, saat perhatian Amerika tersedot ke Timur Tengah, musuh lain yang tak kalah mematikan tengah membakar jantung negeri itu: gelombang panas ekstrem akibat fenomena heat dome. Tekanan udara tinggi yang terkunci di atmosfer membungkus sebagian besar wilayah dari Great Plains hingga Pantai Timur dan Barat Tengah, membawa suhu ekstrem yang mempengaruhi lebih dari 200 juta orang.
Beberapa kota besar seperti New York, Chicago, Washington D.C., Boston, dan Philadelphia mencatat suhu siang hari antara 100 hingga 102 derajat Fahrenheit (37–39°C), dengan indeks panas menembus angka 110°F. Suhu malam pun enggan turun, bertahan di kisaran upper 70s, mengganggu mekanisme pendinginan alami tubuh manusia.
Badan Cuaca Nasional Amerika memperingatkan bahwa puluhan juta penduduk, terutama dari Midwest hingga Pantai Timur, akan menghadapi risiko panas ekstrem level 4 dari 4, mulai Minggu hingga Kamis mendatang. “Panas yang berlangsung lama seperti itu jarang terjadi, kemungkinan tidak akan memberikan sedikit atau tidak ada kelegaan di malam hari dan akan memengaruhi siapa pun tanpa pendinginan yang efektif dan/atau hidrasi yang memadai,” bunyi pernyataan resmi lembaga tersebut.
Menurut prakiraan, suhu di wilayah-wilayah seperti Plains, Midwest, Mid-Atlantic, dan Northeast akan mencapai hingga 15 derajat di atas rata-rata normal. “Ini akan menjadi pekan terpanas tahun ini sejauh ini,” lanjut pernyataan itu. Dengan kelembapan tinggi, suhu terasa bisa mencapai 110 derajat Fahrenheit, terutama di kawasan Mid-Atlantic.
New York City diperkirakan akan mencatat suhu puncak 97°F dari Minggu hingga Selasa—berpotensi memecahkan rekor harian. Di Washington, D.C., suhu bisa menyentuh angka 100°F, sementara Boston akan mendekati 94°F pada hari Selasa. Lebih dari 250 rekor suhu harian, baik untuk suhu tertinggi maupun suhu malam terhangat, diperkirakan akan terpecahkan awal pekan ini.
Data dari studi tahun 2023 menunjukkan bahwa panas ekstrem adalah bentuk cuaca ekstrem paling mematikan di AS, menyumbang lebih dari 800 kematian tiap tahun sejak 1999. “Hari-hari dengan panas yang intens secara tidak proporsional mendorong dampak kesehatan masyarakat yang lebih parah,” tulis Layanan Cuaca Nasional. Di banyak kota, kunjungan gawat darurat melonjak tajam selama hari-hari panas ekstrem, terutama ketika kelembapan tinggi dan suhu malam hari tetap tinggi.
Perubahan iklim juga memperparah kondisi: suhu malam hari kini menghangat lebih cepat dibanding siang hari, mengganggu waktu pemulihan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit serta kematian. Fenomena ini muncul tepat saat musim resmi berganti—titik balik matahari musim panas jatuh pada Jumat pukul 10.42 malam waktu timur. Ini adalah saat ketika belahan Bumi Utara berada dalam kemiringan maksimum ke arah matahari, memicu panjangnya siang hari dan intensitas energi matahari.
Meski titik balik matahari menandai awal musim panas secara astronomis, para ahli meteorologi di AS sejak lama menggunakan awal Juni sebagai patokan. Dan menurut mereka, minggu-minggu terpanas tahun ini baru saja dimulai. Di sebagian besar wilayah, terutama di luar gurun barat daya seperti Arizona, New Mexico, dan Texas Barat, suhu tertinggi biasanya terjadi pada Juli atau Agustus.
Ketika bom dijatuhkan di Timur Tengah, Amerika sendiri tengah mendidih. Dua medan perang kini terbuka lebar—satu geopolitik, satu klimatologis—dan keduanya sama-sama tak mengenal belas kasihan.
Tinggalkan Balasan