Mengalir dari Gunung atau Sumur? Jejak Kontroversi Air AQUA
JAKARTA | HARIAN7.COM – Satu botol air bening bertuliskan AQUA kini menjadi pusat sorotan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi baru-baru ini melakukan inspeksi mendadak ke salah satu pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) tersebut di Subang. Dari sana, muncul satu temuan yang mengguncang publik: air yang selama ini diklaim berasal dari pegunungan ternyata diambil dari sumur dalam.
“Dalam pemikiran saya, airnya itu air mata air, bukan air tanah. Namanya juga air pegunungan,” kata Dedi, dalam keterangannya, Jumat (24/10/2025).
Pernyataan itu langsung menyalakan perdebatan. Apakah selama ini masyarakat benar-benar meminum air pegunungan seperti yang tertera di label? Atau justru air hasil tambang dari dalam tanah?
Air yang Ditambang, Warga yang Kekeringan
Air, yang dulu dianggap anugerah alam, kini telah menjadi komoditas ekonomi. Di banyak daerah, harga air kemasan bahkan hampir setara dengan bahan bakar minyak.
Bagi sebagian warga Subang, tempat berdirinya salah satu pabrik AQUA, keberadaan industri air minum ini bukan tanpa konsekuensi. Debit air tanah yang menurun, sumur warga yang mulai kering, menjadi keluhan yang mulai terdengar lirih.
Dedi Mulyadi menegaskan, industri seharusnya membawa kesejahteraan, bukan kesulitan.
“Kalau ada pabrik, maka pabriknya harus memberikan rasa nyaman bagi lingkungannya. Warganya harus bekerja, anak-anaknya bisa sekolah, bisa naik kelas ekonomi,” ucapnya.
Bagi Dedi, keadilan ekologis dan ekonomi harus berjalan beriringan. Air bukan hanya soal bisnis, tapi juga hak hidup masyarakat.
Klarifikasi AQUA: Air dari Akuifer Gunung
Pihak AQUA, yang bernaung di bawah PT Tirta Investama, tak tinggal diam. Mereka membantah tuduhan bahwa produknya menggunakan air tanah biasa.
Dalam pernyataan tertulisnya, perusahaan menegaskan bahwa air yang digunakan berasal dari akuifer dalam, bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan, yang terlindungi secara alami.
“Air ini telah melalui proses seleksi ilmiah oleh para ahli dari UGM dan Unpad. Sebagian titik sumber juga bersifat self-flowing (mengalir alami),” jelas manajemen AQUA.
AQUA juga memastikan seluruh proses pengambilan air dilakukan dengan izin resmi dan diawasi oleh Kementerian ESDM serta pemerintah daerah.
Namun, perbedaan persepsi tetap muncul. Bagi sebagian orang, istilah “akuifer dalam” terdengar terlalu teknis—dan tak seindah kata “air pegunungan” yang tertera di botol.
Perpamsi: Tak Ada Aturan Khusus Asal Air
Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) justru melihat persoalan ini dari sisi regulasi.
Menurut Tenaga Ahli Perpamsi Muhammad Sirod, tidak ada aturan yang mewajibkan sumber air minum kemasan harus berasal dari mata air gunung.
“Yang penting air tersebut memenuhi standar SNI, BPOM, dan halal. Beberapa air tanah dalam yang terkoneksi ke gunung pun memiliki kualitas sama,” ujarnya.
Ia menyebut, aspek terpenting bukanlah asal sumbernya, melainkan hasil uji kandungan fisika, kimia, dan mikrobiologinya.
YLKI Desak Kejujuran Label
Bagi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), persoalan ini bukan soal teknis, tapi soal kejujuran informasi kepada publik.
Ketua YLKI Niti Emiliana menilai label “air pegunungan” yang ternyata berasal dari sumur dalam bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak konsumen.
“Pelaku usaha tidak boleh memberikan informasi yang menyesatkan. Ini masuk perbuatan yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen,” ujarnya.
YLKI pun mendesak pemerintah untuk melakukan audit independen serta meninjau ulang izin pengambilan air perusahaan tersebut.
Aturan Masih Samar
Ahli Tata Kelola Air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengakui bahwa regulasi soal sumber air AMDK di Indonesia memang belum rinci.
“Hanya diatur kualitasnya, bukan asalnya. Tapi perusahaan wajib jujur menyatakan dari mana air itu berasal,” katanya.
Firdaus menambahkan, label yang menyesatkan bisa mengganggu kepercayaan publik dan menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen.
BPKN Siap Memanggil AQUA
Kisruh ini akhirnya menarik perhatian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Ketua BPKN Mufti Mubarok menyatakan pihaknya akan memanggil manajemen PT Tirta Investama untuk memberikan klarifikasi resmi.
“Hari Selasa mereka kami undang ke kantor BPKN. Kami juga akan meninjau langsung sumber air AMDK termasuk milik AQUA,” ujarnya, Minggu (26/10/2025).
Mufti menegaskan, langkah ini bukan untuk menjatuhkan reputasi perusahaan, melainkan menjaga kepercayaan publik dan perlindungan konsumen nasional.
Air: Hak Publik atau Komoditas?
Kasus ini menyisakan pertanyaan mendasar: siapa yang sebenarnya berhak atas air bumi ini?
Apakah industri besar yang mengantongi izin resmi, atau masyarakat yang tinggal di sekitar sumber air namun mulai kekeringan?
Air yang dulu dianggap milik bersama, kini menjadi barang dagangan. Label “air pegunungan” yang dulu dipercaya, kini justru memunculkan keraguan.
Sementara publik menunggu hasil klarifikasi dan audit pemerintah, satu hal jadi jelas: air bukan sekadar cairan dalam botol, tapi cermin dari kejujuran, tanggung jawab, dan keseimbangan alam.(Red/H7)












Tinggalkan Balasan