HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA

Ultimatum 3 Hari PBNU: Antara Substansi Kuat dan Prosedur yang Dipertanyakan

Laporan Budi Santoso

NGAWI | HARIAN.COM – Dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menghangat. Sebuah risalah rapat harian Majelis Syuriyah PBNU tertanggal 20 November 2025 memantik polemik ketika meminta Ketua Umum Dewan Tanfidziyah PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), untuk mengundurkan diri dalam waktu tiga hari, dengan ancaman pemberhentian tidak hormat bila ultimatum itu diabaikan.

Langkah mendadak Syuriyah ini memunculkan tafsir beragam. Tak hanya dipandang sebagai tindakan berlandaskan otoritas struktural, tetapi juga dipersoalkan dari aspek hukum organisasi.

Sebagai advokat sekaligus warga Nahdliyin, Imam Sampurno menilai keputusan tersebut memang memiliki bobot substansi, khususnya terkait dugaan pelanggaran etik dan tata kelola. Namun secara prosedural, kata dia, keputusan itu masih menyisakan ruang perdebatan yang patut dicermati.

Baca Juga:  Benteng Pendem, Destinasi Hits Sepanjang Masa! Cagar Budaya Cilacap yang Bikin Penasaran

“Syuriyah memang memiliki kewenangan pengawasan tertinggi (supreme oversight) terhadap Tanfidziyah berdasarkan Anggaran Dasar Pasal 18 dan Anggaran Rumah Tangga NU. Posisi Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi organisasi tidak dapat diganggu gugat,” ujar Imam Sampurno, SH, Direktur Firma Hukum Samarabumi yang juga aktif di berbagai kasus peradilan tata usaha negara dan organisasi kemasyarakatan, saat ditemui di kantornya hari ini (23/11).

Namun, lanjut Imam, pemberhentian antar waktu seorang ketua umum tidak bisa dilakukan hanya melalui risalah rapat harian.

“Pemberhentian antar waktu Ketua Umum yang dipilih melalui Muktamar ke-34 harus mengikuti tatacara yang diatur dalam Peraturan Perkumpulan NU No. 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris dan Pergantian Antar Waktu.

Forum yang berwenang untuk memutuskan adalah Musyawarah Nasional (Munas) atau Muktamar Luar Biasa, bukan rapat harian Syuriyah semata,” tegasnya.

Baca Juga:  Kasus Ayah Setubuhi Anak Kandung di Salatiga, LPAI Jateng Minta Pemkot dan Kepolisian Mengambil Langkah Cepat Untuk Korban

Imam menyebut ada tiga aspek fundamental yang harus diperhatikan dalam polemik ini. Pertama, substansi pelanggaran yang dituduhkan, pencemaran nama baik terkait AKN dan dugaan pelanggaran tata kelola keuangan, memang dapat menjadi dasar pemberhentian tidak hormat sesuai Pasal 8 PP No. 13/2025. Kedua, proses harus tetap mengikuti jenjang prosedural dan melibatkan Mustasyar serta unsur Tanfidziyah. Ketiga, risalah rapat harian Syuriyah bersifat rekomendatif, bukan keputusan final.

“Risalah rapat harian Syuriyah bersifat rekomendatif, bukan eksekutorial langsung. Ultimatum 3 hari dan ancaman ‘pemberhentian paksa’ secara hukum perdata dan tata usaha negara berpotensi menjadi cacat prosedur jika dilaksanakan sepihak,” ujarnya.

Risiko itu bukan main-main. Ia menyebut potensi gugatan hukum terbuka lebar.

Baca Juga:  Napak Tilas di Thaif, Menggapai Hikmah Perjalanan Spiritual Nabi Muhammad SAW

“Jika dipaksakan tanpa melalui forum musyawarah yang lebih tinggi, maka keputusan tersebut berisiko digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” imbuh advokat yang bermarkas di Ngawi dan Surabaya ini.

Imam Sampurno yang juga pernah menangani sengketa organisasi kemasyarakatan di Jawa Timur, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan kembali kepada prinsip dasar NU: mengedepankan musyawarah.

“Solusi terbaik saat ini adalah segera menyelenggarakan Munas Alim Ulama atau Munas PBNU untuk mendengarkan kedua belah pihak, memverifikasi tuduhan, dan mengambil keputusan yang sah secara organisatoris sekaligus kuat secara hukum. Ini demi menjaga marwah NU sebagai jam’iyah diniyah yang rahmatan lil alamin,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!