Membuka Jalan Pulang Bagi Mereka Yang Terlupakan, Amnesti: Titik Balik Menuju Keadilan yang Waras
Laporan: Muhamad Nuraeni
SALATIGA | HARIAN7.COM – Negara akhirnya mengambil langkah tak lazim yang justru sangat masuk akal. Presiden Prabowo Subianto menerbitkan amnesti untuk 1.116 narapidana, sebagian besar merupakan pengguna narkoba, penderita gangguan kejiwaan, pelanggar pasal karet ITE, hingga narapidana politik yang hanya menyampaikan kritik lewat spanduk atau satire. Mereka korban dari sistem hukum yang tumpul membedakan antara pelanggaran dan kerentanan.
Ini bukan sekadar keputusan administratif. Bagi para pemikir hukum dan keadilan, ini adalah pernyataan keras terhadap sistem yang tak mampu lagi memelihara semangat keadilan substansial. Dalam tradisi Giorgio Agamben, ini adalah bentuk “sovereign decision” sebuah keputusan eksepsional demi menyelamatkan moral hukum dari kebuntuan legalistik.
“Amnesti ini bukan hadiah belas kasihan, bukan pula manuver populis. Ini adalah rem darurat atas disorientasi hukum kita,” demikian salah satu poin kuat dari naskah resmi yang mendampingi keputusan Presiden.
Amnesti dalam konteks ini bukan pengampunan personal seperti grasi. Ia adalah kritik sistemik terhadap pemidanaan yang sudah kelewat batas. Negara, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, mengakui bahwa tak semua yang legal itu adil. Bahwa vonis hukum kadang hanya menjadi perpanjangan frustrasi birokrasi yang gagal memahami ketimpangan.
Di Bawah Kubah Penjara
Statistik berbicara lebih lantang. Kapasitas penjara Indonesia per Agustus 2025 hanya 146.260 orang. Tapi kenyataannya, 281.743 orang dijejalkan ke dalam ruang-ruang sempit bernama Lapas. Rasio petugas dengan warga binaan? Satu banding delapan puluh. Bukan hanya tak manusiawi, tapi juga mustahil bagi penegakan fungsi pembinaan.
Namun overcrowding hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah overkriminalisasi – kecenderungan negara untuk menjadikan penjara sebagai satu-satunya bahasa hukum. Setiap ekspresi dibalas pasal. Setiap kesalahan kecil ditanggapi dengan borgol.
“Kita memenjarakan pengguna narkoba alih-alih merehabilitasi. Kita menjerat kritik, bukan berdialog. Kita menyamakan korban keadaan dengan pelaku kekerasan,” tulis laporan internal Ditjen PAS.
Data menunjukkan, lebih dari 53 persen penghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotika, mayoritas merupakan pengguna dan non-violent offenders. Banyak dari mereka seharusnya tak berada di balik jeruji, melainkan di pusat rehabilitasi atau menjalani sanksi alternatif.
Dalam sistem seperti ini, penjara tak lagi menjadi tempat pembinaan. Ia menjelma ruang balas dendam sosial. Alih-alih memulihkan, penjara malah memperpanjang rantai ketidakadilan.
Dari Kemarahan ke Keberanian
Keputusan Prabowo untuk menerbitkan amnesti hadir di tengah lanskap hukum yang sesak oleh tuntutan moral. Dalam kondisi normal, langkah ini bisa dianggap sebagai deviasi. Tapi dalam logika etika publik, justru inilah koreksi yang paling jujur dari negara atas kegagalannya sendiri.
“Amnesti adalah bentuk keberanian etis negara untuk menegakkan keadilan substantif,” bunyi pernyataan resmi Kemenkumham.
Dan ini bukan pertama kalinya. Sejarah mencatat, Presiden Soekarno pernah memberi amnesti kepada eks Tapol PRRI/Permesta pada 1959. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberi amnesti kepada eks kombatan GAM pada 2005. Selalu ada momen dalam sejarah ketika hukum positif harus membuka ruang bagi kebijaksanaan politik.
Kini, amnesti bukan akhir dari perjalanan. Ia adalah pangkal dari reformasi hukum dan pemasyarakatan. KUHP baru yang akan berlaku mulai Januari 2026 membawa harapan: pendekatan restoratif, pidana kerja sosial, denda harian, dan prinsip ultimum remedium untuk pelanggaran ringan.
Jalan Panjang yang Harus Diurai
Namun persoalan tak cukup dijawab dengan amnesti dan KUHP baru. Reformasi hukum pidana akan lumpuh tanpa perubahan budaya hukum. Selama masyarakat masih menganggap penderitaan sebagai harga dari keadilan, maka remisi, pembebasan bersyarat, bahkan amnesti akan terus dicurigai sebagai pengkhianatan terhadap korban.
“Overcrowding bukan sekadar masalah administratif, melainkan tanda bahwa sistem hukum kita tengah memproduksi ketidakadilan secara sistemik dan masif,” tegas narasi Kemenkumham.
Di sinilah tugas berat negara: membangun kepercayaan bahwa hukum tak harus menyiksa untuk jadi tegas. Bahwa keadilan bisa hadir lewat pemulihan, bukan semata penghukuman.
Amnesti ini, bila dijaga dalam kerangka etis dan bukan hanya politis, bisa menjadi titik balik. Bukan hanya untuk mereka yang dibebaskan, tapi untuk hukum itu sendiri. Sebab, sebagaimana diungkapkan Amartya Sen, justice bukan soal kesempurnaan prosedur, melainkan pengurangan nyata terhadap ketidakadilan.
Maka, amnesti ini bukan sekadar menyalakan lampu darurat. Ia menyalakan kembali harapan bahwa hukum masih bisa jadi alat kemanusiaan. Bukan sekadar perangkat penghukuman.(*)
Tinggalkan Balasan