Api Perang Dagang dan Bayangan Resesi di Langit Amerika
JAKARTA | HARIAN7.COM – Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menunda kebijakan tarif impor selama 90 hari terhadap 75 negara—dengan pengecualian China—kembali menyulut panasnya bara perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia. Alih-alih meredam ketegangan, Washington justru melancarkan serangan tarif sebesar 145 persen untuk produk-produk asal Negeri Tirai Bambu. Tak tinggal diam, China membalas dengan mengenakan tarif 125 persen terhadap komoditas Amerika.
Dampaknya langsung terasa. Harga barang-barang asal China di platform e-commerce raksasa Amazon melonjak signifikan. “Barang-barang dari China yang ada di market space Amazon sudah dikenakan harga baru. Artinya, tarif impor yang diberlakukan oleh Donald Trump telah berdampak langsung pada harga barang konsumsi di AS. Kekhawatiran terhadap tensi dagang ini masih berlanjut karena ikut mendorong laju inflasi,” ujar Felix Darmawan, Equity Research Analyst Panin Sekuritas, kepada wartawan, Jumat, 11 April 2025.
Felix menjelaskan bahwa tekanan inflasi akibat kenaikan harga ini bisa menyeret ekonomi Amerika Serikat ke arah yang lebih muram. “Peningkatan inflasi ini berpotensi memicu resesi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi AS secara lebih signifikan dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya,” katanya. Ia merujuk pada analisis beberapa ekonom dari Goldman Sachs yang mulai memasang alarm. “Goldman memperkirakan kemungkinan resesi mencapai 60%. Mayoritas analis juga memprediksi inflasi akan meningkat dari level saat ini, yaitu 2,3%,” tambahnya.
Gelombang tekanan itu mendorong Trump kembali menggertak otoritas moneter. Lewat akun Truth Social miliknya, mantan presiden yang kembali mencalonkan diri itu memperingatkan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, untuk segera memangkas suku bunga acuan. Namun Powell bergeming. Prioritas bank sentral, katanya, tetap menjaga inflasi agar tidak lepas kendali.
Kehati-hatian The Fed juga digaungkan oleh mantan wakil ketua lembaga tersebut yang kini menjadi ekonom senior di Pimco. Ia menilai pemangkasan suku bunga tak bisa dilakukan secara serampangan hanya karena ada sinyal perlambatan ekonomi. Keputusan moneter, baginya, harus tetap berpijak pada data.
Seperti dilaporkan The Washington Post, The Fed berkomitmen untuk terus memantau indikator ekonomi secara ketat guna memastikan inflasi tetap berada dalam target 2 persen. Di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik, otoritas moneter Amerika mencoba menjaga keseimbangan di atas tali tipis—sementara perang dagang AS-China kembali membara.(Yn)
Tinggalkan Balasan