HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA

Menduga Alasan Penghapus Pidana dalam Perkara Bharada Eliaser

Mardian Putra Frans (Ketua Komisi Hukum Advokasi dan HAM KNPI Kota Salatiga)

Ditulis Oleh:

Mardian Putra Frans (Ketua Komisi Hukum Advokasi dan HAM KNPI Kota Salatiga)

Editor: Bang Nur

OPINI,harian7.com – Kasus meninggalnya korban Brigadir Josua telah menjadi Isu Nasional yang saat ini sedang ramai dibicarakan, hal ini berangkat dari kematian yang tidak wajar, mulai dari adanya isu insiden saling tembak dirumah Irjen Ferdy Sambo, dugaan pemerkosaan istri dari Irjen Ferdy Sambo, sampai pada hasil Outopsi forensik pertama korban Brigadir Josua diduga telah dianiaya sehingga keluarga korban dilarang untuk membuka peti jenasah.

Hal ini kemudian menjadi menarik karena Bharada Eliaser telah ditetapkan menjadi tersangka terlebih dahulu, yang kemudian Bharada Eliaser bersedia menjadi Justice Collabarator dalam proses penyidikan.

Setelah beberapa hari sejak kesedian Bharada Eliaser menjadi Justice Collaborator kemudian Irjen Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam Konferensi Pers yang disampaikan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo, menyatakan bahwa Bharada Eliaser telah melakukan penembakan, namun Bharada Eliaser mengakui bahwa penembakan itu dilakukan atas perintah atasan dalam hal ini Irjen Ferdy Sambo. Dari kasus ini, kemudian muncul beberapa pertanyaan tentang kemungkinan atau peluang lolosnya Bharada Eliaser dari Jeratan Hukum Pidana karena telah berani untuk jujur dalam menceritakan kasus yang di lakukannya.

Justice Collaborator

Justice Collabarator merupakan tindakan/perbuatan pelaku tindak pidana yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, namun  bukan pelaku utama dalam tindak pidana tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Lebih lanjut, peran saksi pelaku tersebut harus tertuang didalam tuntutan Jaksa Penuntut umum yang menyatakan bahwa saksi pelaku telah memberikan keterangan dan bukti yang signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana. (Lihat Pasal 9 huruf A dan B Surat Edaran Mahkamah agung No 04 tahun 2011).

Baca Juga:  Muhammad Tambrin (Plt Irjen Kemenag): Keutamaan Puasa, Sehari Berpuasa Dijauhkan 70 Tahun dari Neraka

Dalam kasus Aquo, Bharada Eliaser telah memberikan keterangan yang kemudian Irjen Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka, bila melihat definisi Justice Collaborator diatas, maka besar kemungkinan Bharada Eliaser dapat dinilai sebagai Justice Collaborator karena telah memberikan keterangan bahwa tindakan penembakan yang dilakukan olehnya merupakan suatu  perintah oleh atasan, atasan yang dimaksud adalah Irjen Ferdy Sambo.

Perintah Atasan

Penembakan yang dilakukan atas dasar perintah atasan menjadi tepat apabila perintah atasan tersebut dalam rangka menjalankan undang-undang atau dilakukan dengan itikad baik. Hal ini bisa dilihat di dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 51 ayat (1)  KUHP dikatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.

Bila melihat sekilas maka ayat (1) memberikan peluang bagi Bharada Eliaser tidak dapat dipidana, namun pada ayat ke (2) dikatakan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Maksud dari ayat (2) ini penulis memberikan 2 point. Pertama, bahwa sekalipun perintah yang diberikan oleh atasan tersebut tanpa adanya wewenang, maka hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus pidananya. Oleh karenanya, perintah yang diberikan oleh Irjen Ferdy Sambo tidak menghapus pidana bagi Bharada Eliaser yang melakukan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain.

Kedua, bahwa perintah atasan itu harus dengan itikad baik. Itikad baik yang dimaksudkan sesuai dengan undang-undang dan dalam lingkup pekerjaannya, artinya bahwa dalam hal melaksanakan tugas sebagai Anggota Polri yang merupakan penegak hukum, maka dalam keadaan terdesak untuk kepentingan umum dan dalam rangka penyelamatan diri, maka bawahan dapat melaksanakan perintah atasan untuk melakukan tindakan kekerasan, seperti contoh melakukan penembakan menghentikan pelaku yang melakukan serangan terhadap Anggota Polri saat bertugas, hal ini dapat dikategorikan telah termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Baca Juga:  Yuk, Kenali Profil MI NU Banat Kudus!

Dalam kasus ini, Bharada Eliaser melakukan penembakan tidak dalam lingkup pekerjaanya karena dasar penembakannya tidak dalam keadaan terdesak untuk kepentingan umum maupun kepentingan penyelamatan diri dalam menjalankan tugas dan fungsinya bahkan informasi yang disiarkan media bahwa tindakan penembakan dilakukan atas dasar perintah yang telah direncanakan sebelumnya. 

Oleh karenanya kasus penembakan yang dilakukan oleh Bharada Eliaser bukan merupakan tindakan yang dilakukan dalam lingkup pekerjaanya dan tidak dengan itikad baik, maka Bharada Eliaser tidak dapat menggunakan  Pasal 51 ayat (1) KUHP karena telah dibatasi oleh ayat (2) KUHP tentang lingkup pekerjaan dan itikad baik.

Penghapus Pidana

Dari sudut pandang doktrin hukum pidana, dikenal 2 alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa, artinya alasan ini menitikberatkan pada kesalahan terdakwa (kesalahan dalam arti luas) atau pada diri pribadi terdakwa.

Sedangkan alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan. Artinya alasan ini menitikberatkan pada perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh terdakwa.

Berdasarkan Kedua alasan penghapus pidana yang telah diuraikan diatas, penulis menduga akan ada 2 kemungkinan, yaitu:

Tidak dapat dikenakan alasan penghapus pidana, jika Bharada Eliaser melakukan perbuatan menghilangkan nyawa orang terhadap korban Brigadir Josua dalam keadaan yang sehat, dan tidak dalam keadaan tekanan atau paksaan (jika tidak dibuktikan sebaliknya).

Atas dasar itu, dari sudut pertanggungjawaban pidana maka Bharada Eliaser tetap dapat dipidana karena tidak menghapus kesalahan (kesalahan dalam arti luas) dari terdakwa. Oleh karena dalam keadaan yang normal, maka alasan penghapus pidana alasan pemaaf tidak dapat diterapkan pada Bharada Eliaser.

Baca Juga:  Teruslah Bertumbuh, Keberhasilan Membangun Masyarakat Tidak Dicapai Dalam Tempo Satu Malam

Lebih lanjut, perbuatan menghilangkan nyawa orang lain tersebut dilakukan tidak dalam menjalankan tugas, justruh perbuatan tersebut dilakukan atas dasar perintah yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilakukan tanpa itikad baik, sehingga perbuatan tersebut di lihat sebagai suatu perbuatan yang tidak berdasarkan hukum. Atas dasar itu, maka dari sudut perbuatan atau tindakan oleh Bharada Eliaser tersebut tidak dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan maka alasan pembenar untuk menghapus pidananya perbuatan menghilangkan nyawa oleh Bharada Eliaser tidak dapat diterapkan.

Dapat dikenakan alasan penghapus pidana, jika terbukti Bharada Eliaser melakukan penembakan terhadap Brigadir Josua dikarenakan adanya tindakan pemaksaan berupa pengancaman akan melakukan penembakan terhadap Bharada Eliaser yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo maka pasal yang dikenakan atas tindakan/perbuatan Bharada adalah Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.

Artinya pada kondisi yang sangat terpaksa, Bharada Eliaser melakukan tindakan penembakan untuk menyelamatkan nyawanya dari tindakan pengancaman menghilangkan nyawa yang di lakukan oleh Irjen Ferdy Sambo.

Berkaitan dengan daya paksa dalam Pasal 48 KUHP Ini, terdapat kondisi dimana kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh.Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan.

Tindakan yang dilakukan oleh orang yang di paksa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana pendapat R sugandhi sebagai Daya Paksa yang bersifat relatif. Dalam konteks kasus ini, jika terbukti tindakan/perbuatan yang dilakukan Bharada Eliaser dilakukan secara lansung kepada Brigadir Josua dengan tindakan terpaksa karena berupa pengancaman senjata oleh Irjen Ferdy Sambo. 

Maka alasan penghapus pidana dapat diterapkan terhadap Bharada Eliaser karena tindakan tersebut telah memenuhi alasan penghapus pidana sebagaimana yang maksudkan didalam rumusan Pasal 48 KUHP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

HIBURAN

SPORT

error: Content is protected !!