Agama Tak Bisa Dikesampingkan: Pakar Internasional Gugat Model Perdamaian Modern
Laporan: Muhamad Nuraeni
SALATIGA | HARIAN7.COM — Seminar Internasional Cepaso di Ballroom Hotel Grand Wahid Salatiga, Senin (17/11/2025), menghadirkan perdebatan bernas soal arah perdamaian global. Dengan tema “Religion, Politics and Peacebuilding: Critical Perspectives”, forum ini menjadi ajang tukar pikiran para akademisi lintas negara yang menyoroti kegagalan pendekatan perdamaian modern dalam membaca akar konflik masa kini.
Suasana diskusi menghangat ketika Sumanto Al Qurtuby, Ph.D (Senior Lecturer, Satya Wacana Christian University), menyampaikan kritiknya terhadap dominasi Barat dalam kerangka perdamaian liberal. “Perdamaian liberal saat ini menjadi domain wilayah Barat dengan tingkat sekulerisasi yang sangat kuat, sehingga melemahkan peran agama dalam proses perdamaian,” ujarnya. Baginya, proses rekonsiliasi yang menyingkirkan spiritualitas akan berakhir dangkal dan tak menjangkau dimensi sosial yang lebih dalam.
Pandangan lain disampaikan Prof. Sharifah Munirah Alatas (Independent Scholar, Malaysia). Ia menyebut bahwa upaya membangun perdamaian tidak bisa dilepaskan dari pembacaan geopolitik dan geoekonomi yang utuh. “Keberlanjutan perdamaian membutuhkan pemahaman geopolitik dan geoekonomi yang komprehensif, bebas dari Islamophobia, serta menuntut reformasi lembaga pendidikan dan penguatan kembali ilmu sosial serta humaniora,” katanya. Menurutnya, tanpa perbaikan struktural, perdamaian hanya akan bertahan sebentar.
Dari pihak penyelenggara, Direktur Pascasarjana UIN Salatiga, Prof. Asfa Widiyanto, menegaskan bahwa agama dan pendidikan punya watak ganda. “Sepanjang sejarah, agama selalu punya ruang untuk menyelesaikan konflik dan memberikan legitimasi bagi pendidikan, politik, hingga pemerintahan,” ucapnya. Ia menilai ambivalensi itu justru membuka peluang bagi pendekatan baru.
Rektor UIN Salatiga, Prof. Dr. Zakiyuddin, menambahkan bahwa kampus harus menjadi penggerak harmoni sosial. “Agama berperan besar dalam menciptakan keseimbangan dan kebijakan inklusif, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan dinamika sosial-politik,” ungkapnya.
Seminar juga menghadirkan Prof. Stephane Lacroix (Sciences Po Paris & Visiting Professor UIII) serta Munajat, Ph.D (UIN Salatiga). Para pembicara sepakat bahwa model perdamaian masa depan harus lebih inklusif, lintas disiplin, serta memosisikan agama sebagai unsur penting dalam merawat rekonsiliasi global.












Tinggalkan Balasan