Majelis Uang Panas: Tiga Hakim Terseret Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
Editor: Muhamad Nuraeni
JAKARTA | HARIAN7.COM — Ketukan palu sidang ternyata bukan akhir perkara. Di balik vonis lepas tiga korporasi raksasa minyak goreng dalam kasus korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO), Kejaksaan Agung membongkar skenario di balik layar. Tiga hakim yang menangani perkara itu kini berstatus tersangka.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, mengumumkan penetapan tiga hakim sebagai tersangka baru. “Berdasarkan alat bukti yang cukup, di mana penyidik telah melakukan pemeriksaan kepada 7 saksi, maka pada malam hari tadi sekitar pukul 23.30 WIB, tim penyidik telah menetapkan 3 orang sebagai tersangka dalam perkara ini,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin dini hari, (14/4/2025).
Ketiganya ialah Ketua Majelis Hakim Djuyamto serta dua hakim anggota, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom. Mereka sebelumnya diperiksa sebagai saksi di Gedung Kejagung sejak Minggu pagi, 13 April.
Menurut Qohar, ketiga hakim itu diduga menerima uang suap dalam pengaturan vonis lepas untuk perkara korupsi persetujuan ekspor CPO periode Januari 2021–Maret 2022. “Bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar perkara tersebut diputus ontslag,” kata Qohar.
Ketiganya kini ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung RI.
Duit untuk “Baca Berkas”
Qohar memaparkan, praktik suap ini bermula dari kesepakatan antara pengacara korporasi tersangka, Ariyanto, dengan Wahyu Gunawan, panitera muda perdata di PN Jakarta Utara yang saat kasus berlangsung menjabat panitera di PN Jakarta Pusat. Ariyanto ingin kasus kliennya diputus ontslag van alle rechtavervolging, atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Sebagai modal lobi, Ariyanto menyiapkan Rp 20 miliar. Tawaran itu lantas disampaikan Wahyu kepada Muhammad Arif Nuryanta, kala itu masih Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Arif menyetujui permintaan tersebut, tapi dengan satu syarat: nilai suap digandakan menjadi Rp 60 miliar.
“Setelah disampaikan, beberapa waktu kemudian Ariyanto Bakri menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat kepada Wahyu Gunawan,” ujar Qohar. Wahyu menerima komisi sebesar USD 50 ribu sebagai penghubung.
Selanjutnya, Arif menunjuk Djuyamto, Agam, dan Ali sebagai majelis hakim. Tak lama setelah penetapan sidang, Arif memanggil Djuyamto dan Agam, lalu memberikan uang setara Rp 4,5 miliar dalam pecahan dolar AS. “Saat itu, Arif menyampaikan kepada keduanya agar perkara tersebut diatensi,” kata Qohar. Duit itu lantas dibagi oleh Agam, Djuyamto, dan Ali.
Pada September atau Oktober 2024, Arif kembali menyetor uang dalam bentuk dolar senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto. Pembagiannya: Agam menerima Rp 4,5 miliar, Djuyamto Rp 6 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 5 miliar.
Pada 19 Maret 2025, majelis hakim memvonis ketiga korporasi minyak goreng—Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—lepas dari segala tuntutan. “Hal ini menjadi nyata ketika perkara korporasi minyak goreng telah diputus ontslag oleh Majelis Hakim,” ujar Qohar.
Ketiga hakim dijerat Pasal 12 c juncto Pasal 12B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jerat Bertambah, Bukti Menggunung
Dengan penetapan ini, jumlah tersangka dalam perkara suap vonis lepas CPO bertambah menjadi tujuh orang. Empat lainnya adalah Muhammad Arif Nuryanta, Marcella Santoso, Ariyanto, dan Wahyu Gunawan. Keempatnya diduga sebagai aktor awal dalam skema suap.
Kejagung juga menyita berbagai barang bukti: uang miliaran rupiah dalam berbagai mata uang, tujuh mobil mewah, 21 sepeda motor, dan tujuh sepeda dari berbagai merek.
Korupsi di Meja Ekspor
Perkara pokok yang menyeret para tersangka bermula dari dugaan korupsi dalam pemberian persetujuan ekspor CPO pada Januari 2021–Maret 2022. Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan lima tersangka, termasuk eks Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana, dan konsultan ekonomi Lin Che Wei.
Menurut jaksa, Lin Che Wei bersama Indra Sari menjual izin ekspor ke perusahaan-perusahaan sawit dan menguntungkan pihak tertentu. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 6 triliun, sementara kerugian perekonomian negara mencapai Rp 12,3 triliun.
Ketiga korporasi akhirnya divonis bersalah namun tidak melakukan tindakan pidana, sehingga dinyatakan bebas. Meski begitu, jaksa menuntut denda dan uang pengganti kepada korporasi. PT Wilmar Group, misalnya, dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11,88 triliun.
Jika tak dibayarkan, harta kekayaan Direktur Wilmar Group, Tenang Parulian, bisa disita dan dilelang. Bila tidak mencukupi, jaksa menuntut pidana subsider 19 tahun penjara.
Kini, giliran para penegak hukum yang dimintai pertanggungjawaban. Sebuah ironi dalam perkara besar yang dari awal bernama korupsi ekspor minyak goreng.(Yuanta)
Tinggalkan Balasan