HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA

Kisah Sukardi dan Sutarni: Kelelahan di Sawah, Kebahagiaan di Hati

Laporan: Budi Santoso

NGAWI | HARIAN7.COM – Matahari mulai beranjak naik ketika Sukardi (65) dan Sutarni (50) menapaki pematang sawah di Dusun Ngemplak, Desa Ketanggung, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi. Pasangan suami istri asal Dusun Geneng, Desa Bumiaji, Kecamatan Sambung Macan, Kabupaten Sragen ini sudah puluhan tahun menggeluti pekerjaan sebagai buruh ngasak—mengumpulkan sisa panen padi di sawah-sawah petani.

Baca Juga:  Jelang Pilkada Serentak, KPU Salatiga Ajukan Anggaran Pilwakot 2024 Senilai Rp 19.1 Miliar

Meski pekerjaan ini menuntut tenaga ekstra, mereka tetap menjalaninya dengan penuh kesyukuran. Setiap hari, Sukardi dan Sutarni mampu mengumpulkan sekitar 30 hingga 40 kg gabah dari sisa-sisa panen petani. Dalam satu musim panen, Sutarni bahkan bisa mengumpulkan 750 kg hingga satu ton gabah kering.

Baca Juga:  Pemkab Way Kanan Sambut Kedatangan BPK, Raden Adipati : "Kita Minta Untuk Diberi Masukan dan Koreksi"

“Pagi berangkat, sore baru pulang. Kami mengikuti Jumingin, pemborong padi asal Sragen, bersama rombongan tleser, mesin perontok padi. Kami berpindah dari satu sawah ke sawah lainnya di wilayah Sragen dan Ngawi,” ungkap Sutarni kepada awak media harian7.com, Selasa (4/3/2025).

Baca Juga:  Calon Wali Kota Salatiga, Robby Hernawan, Prioritaskan Sektor Kesehatan dengan Kartu Sehat untuk Warga Tidak Mampu

Ngasak: Mengais Rezeki, Menjalin Kebersamaan

Pekerjaan sebagai buruh ngasak bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan gotong royong di desa. Sriatun (52), warga Bumiaji Sragen, juga menuturkan bahwa hasil ngasak cukup untuk membantu ekonomi keluarganya.

Baca Juga:  Sinergitas Harmonis Tanpa Batas: Kejutan Ulang Tahun Dandim 0714/Salatiga dari Kapolres Salatiga

“Hasil dari ngasak ini cukup untuk membantu suami saya yang pekerjaannya serabutan dan juga untuk biaya sekolah anak. Kami mengumpulkan gabah sedikit demi sedikit, lalu jika sudah banyak, sebagian dijual dan sebagian untuk makan sehari-hari,” tuturnya.

Baca Juga:  Jejak Hijau Negeri, Menyulam Kembali Jati Diri Bangsa: Nasib Petani di Persimpangan Kebijakan

Di tengah kesibukan musim panen, pemilik sawah pun turut memberikan pandangan. Sahid, seorang petani di Dusun Ngemplak, mengakui bahwa hasil panennya tahun ini menurun akibat biaya pupuk dan tenaga kerja yang tinggi. Namun, ia justru melihat Sutarni lebih beruntung karena masih bisa mendapatkan banyak gabah dari hasil ngasak.

Baca Juga:  Paguyuban Perangkat Desa Tlogomulyo Gelar Halal Bi Halal, Camat Apresiasi Prestasi Pemerintahan Desa

“Wah, kalau dihitung-hitung, hasil ngasaknya Mbok Sutarni ini lebih banyak dari hasil panen saya sendiri!” katanya sambil berkelakar saat beristirahat di pematang sawah.

Baca Juga:  Kedapatan Berkerumun , Warga Yang Lagi Senam Dibubarkan Polres Kendal

Ngasak: Tradisi yang Sarat Makna

Ngasak bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah tradisi yang terus hidup di tengah masyarakat Sragen dan Ngawi. Dengan ketekunan, keikhlasan, dan kebersamaan, buruh ngasak seperti Sutarni membuktikan bahwa setiap butir padi yang dipungut membawa berkah dan cerita perjuangan.

Baca Juga:  Berikan Kemudahan Kepada Semua Pihak, Pemkab Jepara Perbaharui Aplikasi Pelaporan TSP ke Versi 2.0

Dibalik kelelahan menyusuri hamparan sawah, tersimpan makna kesabaran dan rasa syukur. Di tengah terik matahari dan lumpur yang melekat di kaki, mereka tetap tersenyum. Karena bagi mereka, ngasak bukan hanya mencari rezeki, tetapi juga cermin keteguhan hati dan nilai luhur yang patut dihargai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Berita Lainya

error: Content is protected !!