Jejak Hijau Negeri, Menyulam Kembali Jati Diri Bangsa: Nasib Petani di Persimpangan Kebijakan
Laporan: Muhamad Nuraeni
OPINI | HARIAN7.COM – Indonesia, negeri yang dijuluki “zamrud khatulistiwa,” memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun, keberlimpahan sumber daya tidak serta-merta menjadikan negeri ini mandiri secara pangan. Para petani yang seharusnya menjadi pilar utama ketahanan pangan justru sering berada dalam dilema kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.
Agus Subekti, pengurus KUB Berkah Karya, mengungkapkan bahwa pertanian modern, maju, dan berkelanjutan masih sebatas mimpi. Ia menyoroti bagaimana kebutuhan dasar petani, seperti irigasi, alat pertanian, dan infrastruktur, masih dijadikan komoditas politik menjelang pergantian kepemimpinan.
Petani: Obyek Transaksi atau Subjek Kemajuan?
Selama bertahun-tahun, harga hasil panen yang anjlok saat produksi melimpah, kelangkaan pupuk, serta minimnya pendampingan bagi petani menjadi kisah klasik yang terus berulang. “Petani selalu jadi bulan-bulanan kartel dan mafia pangan,” ujar Agus saat dihubungi harian7.com melalui pesan singkat whatsApp, Minggu (16/2/2025).
Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Agus menekankan bahwa kunci utama untuk merevitalisasi pertanian Indonesia adalah mengembalikan kesuburan tanah dan kemurnian air. Ia mengusulkan model pertanian terpadu yang mengoptimalkan pengelolaan sampah organik dan peternakan, sehingga menciptakan ekosistem yang lebih berkelanjutan.
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Kemandirian pangan tidak hanya berbicara tentang swasembada, tetapi juga soal meningkatkan kesejahteraan petani. Pemetaan ulang kelompok tani, pengelolaan komoditas berbasis potensi wilayah, serta kebijakan harga yang berpihak pada petani harus menjadi prioritas.
“Siapapun pemimpin negeri ini, mari jadikan hasil pertanian kita tuan rumah di negeri sendiri,” tegas Agus. Jika tidak, bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita hanya akan menjadi konsumen di tanah yang seharusnya subur untuk memberi makan dunia.(*)
Tinggalkan Balasan