HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA


Menengok Sejarah Pujangga Jawa Ronggo Warsito Sang Jurnalis di Abad ke 18, Hingga Kini Banyak Peziarah Berkunjung ke Makamnya

Klaten,harian7.com – Mengulas singkat jejak perjalanan sosok tokoh pujangga dan Jurnalis serta peramal ulung yang di segani oleh para raja di Jawa  pada era Sultan Keraton Surakarta. Dia adalah RNg. Ronggowarsito yang mempunyai nama kecil Bagus Burhan yang lahir pada tanggal 10 Dzulkaidah, tahun Be 1728, wuku Sungsang, atau dalam hitungan penanggalan Masehi yakni 15 Maret 1802, tepat pukul 12.00 siang di Yosodipura, Surakarta, Jawa Tengah dan wafat pada 15 Desember 1873, hari Rabu Pon (dalam tanggalan jawa).

Karena beliau  memiliki ilmu spiritual dan olah kebatinan kejawen yang mumpuni serta mengubah jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara, sehingga  ia didaulat oleh Sultan Keraton Surakarta untuk menjadi peramal istana kerajaan pada masa itu.

Karena budi perkerti dan kesaktianya maka hingga saat ini namanya masih di kenal dan makamnya pun terus ramai di datangi para peziarah. Makam Ronggo Warsito terletak di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Seperti kita ketahui makam Ronggo Warsito terbuat dari batu pualam putih bertuliskan huruf jawa. Terdapat empat pilar di sekeliling makam lengkap dengan kelambu putih. Di depan makam ada tempat bagi para peziarah untuk menaruh bunga dan berdoa.

Baca Juga:  Kecelakaan Mio VS Sigra, Dua Orang Alami Luka
Reporter harian7 dot com saat berbincang dengan Mbah Dayat sang Juru Kunci.

Juru kunci makam Ronggo Warsito yang ke empat yakni Mbah Dayat (66) saat berbincang dengan harian7.com, Minggu (23/6/2019) dini hari, menceritakan, bahwa dulunya Ronggo Warsito didaulat oleh Sultan Keraton Surakarta untuk menjadi seorang peramal istana kerajaan keraton Surakarta yang merupakan kerajaan pecahan dari Keraton Yogyakarta, yang mana dari hasil Perjanjian Giyanti tahun 1755. Saat itu  Ronggowarsito ditugaskan untuk meramalkan setiap apa saja yang bakalan terjadi pada pemerintahan Keraton Surakarta.

“Raden Ronggo Warsito hidup pada abad ke-18. Pada masa itu ia sangat sakti karena darah pujangga mengalir dari kakeknya, Yosodipuro II. Ia diangkat menjadi pujangga kerajaan saat Pakubuana VII menjabat Raja,”tutur Mbah Dayat.

Lukisan Ronggo Warsito.

Lanjut Mbah Dayat, pada masa itu Karya Ronggo Warsito sangatlah terkenal lantaran setiap kata berisi pitutur luhur dengan kandungan sastra tinggi. Bahkan sebagian besar membicarakan tentang masa depan negerinya, bahkan masa depan Indonesia.

“Bunyi salah satu petikan karyanya adalah, Amenangi zaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya keduman milik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah kersaning Allah, Begja begjaning kang lali, Luwih begja kang eling lan waspada. (Menyaksikan zaman edan, Tidaklah mudah untuk di mengerti, Ikut edan tidak sampai hati, Bila tidak ikut, Tidak kebagian harta, Akhirnya kelaparan, Namun kehendak Tuhan, Seberapapun keberuntungan orang yang lupa, Masih untung ‘bahagia’ orang yang ‘ingat’ sadar dan waspada – red),”ucap Mbah Dayat saat berbincang dengan harian7.com.


video Makam Ronggo Warsito

Ketika ditanya tentang Makam Ronggo Warsito Mbah Dayat menjelaskan, Di komplek makam pujangga penulis “Serat Kalatidha” yang terkenal ini juga terdapat dua makam istrinya serta ada sebuah sumur tiban yang mana di yakini memiliki ‘kekuatan’ mistis atau gaib. Maka tak heran jika peziarah yang berkunjung pasti juga ke sumur tiban.

Baca Juga:  Arus Mudik Lebaran 2023, Volume Kendaraan di Wilayah Kabupaten Semarang Meningkat

“Sumur Tiban itu keberadaannya bukan dikarenakan sengaja dibuat atau dibangun oleh manusia, melainkan muncul secara tiba-tiba. Sumur Tiban sendiri diyakini dijaga  atau yang bahurekso yakni Nyai Sekar Gadung Melati, yang konon merupakan sosok tokoh yang sakti dan mumpuni. Karena kesaktian Nyai Sekar Gadung Melati itulah yang menyebabkan air sumur tiban menjadi bertuah, mujarab dan mempunyai kekuatan tertentu,”papar Mbah Dayat.

Baca Juga:  Polisi Lakukan Operasi Sterilisasi Pasca Kebakaran Lereng Merapi

Peziarah yang ingin ‘mengalap tuah’ sumur tiban  harus melakukan ritual yang dilakukan pada malam hari. Ritual pada malam hari diyakini lebih besar manfaatnya dibanding ritual siang hari. Ritual yang dipandu juru kunci itu dilakukan sejak menjelang tengah malam, yang diawali dengan pembacaan doa. Ketika waktu tengah malam tiba, juru kunci akan membawa peziarah ke tepi sumur tiban.

Oleh sebab itu biasanya para peziarah seusai ziarah ke makam Ronggo Warsito langsung ke Sumur Tiban melakukan ritual dengan melemparkan uang logam ke dalam sumur. Setelah melempar uang logam, peziarah diminta untuk melihat atau memandang tajam-tajam ke dalam (dasar) sumur. Konon, terkabul atau tidaknya keinginan serta niat peziarah akan terlihat dari bayangan gambaran yang ada dipermukaan air sumur tiban tersebut.

“Peziarah yang datang biasanya orang yang mempunyai hajat ataupun orang yang sedang ada masalah baik masalah ekonomi atau masalah lain. Ya intinya semua tetap kita meminta pada Allah SWT, tempat ini sebagai perantara saja mas,”paparnya sembari mengakhiri perbincanganya dengan harian7.com.

Laporan : Wahyu Widodo
Editor : Shodiq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!