Pemilu 2024: Merawat Demokrasi
Penulis: Yakub Adi Krisanto – Dosen Fakultas Hukum UKSW
ESAI,harian7.com – Pemilu 2024 yang dilaksanakan serentak dalam memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR/D, DPD, dan kepala daerah. Pemahaman serentak atau bersama-sama dimaknai dilaksanakan pada tahun yang sama, dan sekaligus memilih pejabat publik yang seharusnya dipilih oleh rakyat.
Tahun 2024 menjadi tahun hajatan demokrasi Indonesia, rakyat dalam rentang waktu Februari dan November akan memilih calon-calon pejabat public yang didapuk untuk duduk sebagai pemimpin legislative maupun eksekutif.
Pasca reformasi 1998, Indonesia telah melaksanakan 5 kali pemilu sebagai perayaan keberhasilan menerapkan demokrasi yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang meniscayakan kebebasan, termasuk kebebasan politik dalam memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan public. Manifestasi kebebasan yang menjadi salah satu pondasi demokrasi telah membuka ruang untuk mendirikan partai politik dan menjadi anggota partai politik yang sah dan diakui oleh negara.
Selain kebebasan berorganisasi dalam hal membentuk partai politik, kebebasan berpendapat yang difasilitasi oleh media cetak maupun elektronik semakin berkembang dengan kehadiran teknologi informasi. Teknologi informasi membuka ruang lebar untuk mengekspresikan pendapatanya di ruang-ruang public. Ruang lebar (dan terbuka) itu dalam bentuk media social yang memampukan rakyat lebih berdaya untuk bersuara dan menyampaikan pendapatnya.
Kebebasan berpendapat yang hadir dan berkembang seiring kemajuan teknologi informasi juga menghadirkan dampak negatif. Pemilu 2019 menjadi percontohan yang menghadirkan refleksi-evaluatif bagi bangsa Indonesia dari dampak negatif yang hadir pada waktu itu.
Berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) telah mewarnai kandidasi dan kontestasi politik. Akibatnya polarisasi rakyat begitu nyata, pendukung pasangan calon berhadap-hadapan dengan pendukung yang lain di media social. Salah satu bentuk polarisasi yang terjadi adalah pelabelan pendukung pasangan calon dan menjadi alat ampuh dalam memecah belah persatuan.
Pengalaman Pemilu 2019 perlu menjadi pelajaran bagi pemilih dan pemangku kepentingan pemilu. Pelajaran yang tidak terbatas pada merebaknya hoax dan hate speech, melainkan juga proses pemilihan dan hasil (output) pemilu yang bisa memperbaiki kualitas dalam proses-hasil. Sekaligus terdapat tantangan bagi Pemilu 2024 berkaitan dengan pelaksanaan yang serentak dalam rentang waktu satu tahun.
Merawat Demokrasi
Pertama, polarisasi yang tajam pada Pemilu 2019 menjadi modal penting mencapai keberhasilan proses-hasil Pemilu 2024. Pasangan calon dan/atau peserta pemilu (pada waktu itu) sudah mempunyai pengalaman untuk bertarung dalam situasi yang sengit dan mengarah pada perpecahan. Pengalaman ini perlu menjadi pelajaran dengan membangun aturan main baik yang bersifat internal (pasangan calon dan/atau peserta pemilu) maupun eksternal (penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum).
Aturan main yang disepakati dari hasil olah gagasan dan pengalaman Pemilu 2024 perlu segera disosialisasi dan diterbitkan sebagai hukum positif. Hukum positif dimaksud menjadi panduan bagi pendukung pasangan calon dan/atau anggota peserta pemilu sebagai rambu-rambu dalam keterlibatannya pada setiap tahapan pemilu. Panduan ini termasuk juga yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi, khususnya penggunaan panggung (platform) media sosial untuk memperoleh dukungan atau menyebarluaskan gagasan pasangan calon (baik eksekutif maupun legislatif).
Pengawasan atas kebebasan penggunaan media sosial, khususnya terhadap konten atau subtansi informasi menjadi bentuk pencegahan terjadinya (potensi) konflik vertikal maupun horizontal. KPU, Kominfo, organisasi jurnalis atau media perlu duduk bersama untuk membuat panduan dalam menyebarluarkan informasi, dan respon cepat terhadap berita atau informasi yang memuat berita bohong atau ujaran kebencian. Respon cepat ini bisa berguna untuk mencegah semakin meluasnya penyebaran yang relatif sulit dicegah ketika berita atau informasi tersebut sudah sampai di layar gawai masyarakat.
Kedua, pendidikan pemilih (voters education). Pendidikan pemilih yang sebenarnya menjadi tugas partai politik sering diabaikan dalam penyelenggaraan pemilu. Pendidikan pemilih dapat mempengaruhi kualitas hasil pemilu, ketika pendidikan ini menjadi sarana pembelajaran untuk mengetahui demokrasi sebagai mewujudkan kedaulatan rakyat, pengaruh atau dampak dari hasil pemilu bagi perjuangan aspirasi pemilih (atau masyarakat), mengetahui kualitas atau kapasitas calon-calon pejabat public yang berkontestasi dan materi-materi lain yang mampu meningkatkan pemahaman pemilih dalam keterlibatannya di tahapan pemilu.
Pendidikan pemilih untuk Pemilu 2014 belum terlambat dilakukan. KPU, Bawaslu dan Pemerintah perlu mendorong adanya ruang pendidikan pemilih, dan tidak hanya terjebak pada pendidikan pemilih pemula saja. Ruang pendidikan pemilih bisa melibatkan perguruan tinggi, organisasi sosial-kemasyarakat, media (cetak dan elektronik), bahkan partai poltik perlu didorong untuk menyelenggarakan pendidikan pemilh yang tidak terbatas pada anggota atau kader partainya semata. Pendidikan pemilih bukan untuk sosialisasi tahapan pemilihan, melainkan untuk meningkatkan kesadaran berdemokrasi dan pengetahuan mengenai lembaga legislative-eksekutif sebagai hasil dari pemilu.
Ketiga, pengenalan calon-calon baik Presiden/wakil Presiden, DPR/D, DPD dan kepala daerah yang inovatif-kreatif. Pengenalan ini tidak dimaksudkan hanya sebatas sebagai tahapan kampanye, melainkan digagas adanya ruang yang difasilitasi KPU untuk menampilkan semacam ‘curicullum vitae’, agar masyarakat bisa menilai secara komprehensif. Ruang yang bisa menampilkan calon-calon itu memungkinkan pemilih bisa mengenal dengan baik dan memberi pemahaman dari pengetahuan yang disajikan.
Strategi ini untuk menghindari pameo bahwa dalam politik ibarat membeli kucing dalam karung. Sekaligus juga agar pemilih mempunyai pertimbangan dalam menentukan pilihan dengan ketersedian informasi yang mumpuni. Dalam hal ini, bagi calon menjadi kesempatan untuk mengenalkan dirinya, dan menyajikan informasi yang diperlukan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dirinya terpilih sebagai anggota legislatif atau eksekutif.
Pemilu 2024 dengan format yang berbeda karena dilaksanakan secara serentak dalam kurun waktu satu tahun untuk memilih pejabat public di Indonesia menjadi kesempatan untuk menegaskan proses pendewasaan demokrasi. Demokrasi yang dewasa dalam konteks proses dan hasil. Proses yang mengejawantahkan kebebasan dengan baik, dan hasil menggunakan kebebasan yang mampu meningkatkan kualitas legislatif-eksekutif.
Kebebasan yang digunakan tidak melahirkan konflik baik vertikal dan horizontal. Demokrasi minim konflik menjadi hasil proses yang adil dan jujur. Perbedaan pendapat mampu disikapi dengan proporsional oleh masyarakat, dan dipahami sebagai penajaman saling tukar gagasan atau ide untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan demikian, Pemilu 2024 mempunyai kesempatan untuk semakin melembagakan demokrasi. Demokrasi yang melembagakan dapat berkontribusi dalam merawat demokrasi yang substansial.
Tinggalkan Balasan