HARIAN 7

JENDELA INFORMASI DAN MITRA BISNIS ANDA


Konflik Tambang Emas di Papua, Eks Pengacara Pemilik Lahan Sebut Lahan Tambang Bukan Tanah Adat, Begini Jelasnya

Laporan: Muhamad Nuraeni

SALATIGA | HARIAN7.COM – Konflik yang melibatkan perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup dengan warga Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, terus berlanjut. Kali ini, Petrus Wekan, mantan pengacara pemilik lahan, memberikan penjelasan rinci tentang duduk perkara masalah ini.

Petrus menjelaskan bahwa konflik ini berawal dari temuan potensi emas oleh Marten Basaur dan Wiliam Sroyer. Untuk mengembangkan tambang emas tersebut, mereka mengajak investor dari Nusantara Grup, Nicholas Nyoto Prasetyo, dengan bantuan penghubung Ismail Sroyer, putra Papua. Kesepakatan kerja kemudian diadakan, dengan kuasa diberikan kepada Max Ohe, wakil ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) dan pemimpin organisasi Barisan Merah Putih.

“Kesepakatan ini tidak memberikan kuasa kepada Marten Basaur atau Pak Sroyer karena risiko yang tinggi, terutama Marten yang bukan orang Papua,” terang Petrus dalam konferensi pers di Hotel Laras Asri, Salatiga, Jawa Tengah, Selasa (25/6/2024).

Petrus menegaskan bahwa lahan tambang tersebut bukan tanah adat. “Jika dari awal itu tanah adat, tidak mungkin dijadikan tambang. Lahan ini adalah perdusunan dan pekarangan,” tegasnya.

Setelah kesepakatan antara Max Ohe dan pemilik lahan Yohan Jasa, konflik muncul karena permintaan uang masuk dan uang adat. Max Ohe telah membayar Rp 20 juta, namun kemudian muncul permintaan tambahan Rp 300 juta setelah lahan diratakan, yang tidak ada dalam perjanjian.

“Permintaan ini tidak ada dalam perjanjian awal, dan inilah yang memicu konflik berkepanjangan hingga warga Papua mendatangi rumah investor di Salatiga untuk menuntut pertanggungjawaban,” ujar Petrus.

Petrus datang ke Salatiga untuk membantu Marten Basaur, yang dikabarkan melakukan tindakan anarkis di Salatiga. Marten salah sasaran karena investor tidak terlibat langsung di lapangan. 

“Saya mempertanyakan kepada Marten, apa tujuannya mendatangi investor? Karena kerjasama itu antara Max Ohe dan Yohan Jasa, bukan dengan Pak Nicho. Jadi Marten salah alamat,” jelasnya.

Marten hanya memiliki kuasa untuk melakukan pekerjaan pertambangan, bukan untuk mediasi atau perundingan. Kuasa hukum masih dipegang oleh Petrus, meskipun telah dicabut beberapa hari lalu.

“Saya hanya ingin meluruskan masalah ini berdasarkan hukum. Jika Pak Nicho terlibat dalam perjanjian, dari awal pasti sudah dilaporkan ke polisi. Pak Nicho tidak terlibat, tidak ada satu pun kontrak atas namanya,” tandas Petrus.

Petrus juga mengungkapkan bahwa dirinya diberhentikan sebagai pengacara secara sepihak dan tidak mengetahui alasan di balik keputusan tersebut.(*)


Berita sebelumnya:


Investor Tambang Emas Asal Salatiga Akhirnya Melapor ke Polisi, Klaim Pengancaman oleh Sekelompok Orang Asal Papua


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!