Konflik Tambang Emas di Papua: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kehormatan Adat, Begini Jelasnya
![]() |
Istimewa |
Laporan: Muhamad Nuraeni
SALATIGA | HARIAN7.COM – Konflik seputar tambang emas di Papua semakin memanas ketika Marten Basaur, perwakilan warga Papua, mengungkapkan kisah perjuangannya melawan ketidakadilan yang terjadi di kampungnya. Marten bersama beberapa warga Papua melakukan perjalanan panjang ke Salatiga untuk menemui investor tambang emas dari Koperasi Bahana Lintas Nusantara (BLN), Nicholas Nyoto Prasetyo.
Dalam wawancara dengan wartawan, Marten menceritakan bahwa konflik ini bermula ketika pihak BLN memulai pembukaan lahan di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua pada Desember 2023. Pembukaan lahan ini terjadi meskipun kontrak kerjasama dinilai tidak sah dan masih dalam proses perbaikan di notaris.
“Kami terkejut ketika lahan sudah dibuka tanpa persetujuan yang sah. Hal ini menyebabkan kerusakan hutan yang parah,” kata Marten pada Jumat, (21/6/2024).
Lebih lanjut, Marten mengungkapkan bahwa perusahaan diduga belum memiliki izin resmi untuk membuka tambang. Meskipun sudah beberapa kali bertemu dengan Nicholas, Marten merasa diabaikan dan hanya diberi janji-janji kosong. Akhirnya, Marten memutuskan untuk langsung datang ke Salatiga untuk menuntut keadilan.
Pembukaan lahan seluas 1,8 hektare ini menyebabkan kerusakan hutan yang serius. Marten, mewakili pemilik lahan dan warga Papua, menuntut ganti rugi sebesar Rp 20 miliar. Namun, pihak Nusantara Grup hanya menawarkan ganti rugi senilai Rp 50 juta. Lebih parah lagi, Marten juga ditawari uang sebesar Rp 50 juta untuk pribadi agar mau pulang ke Papua dan tidak mengungkit masalah ini lagi.
“Saya tidak datang ke sini untuk uang. Ini soal tanggung jawab atas hutan adat yang sudah dirusak. Pemilik lahan merasa harkat dan martabat orang Papua diinjak-injak,” tegas Marten.
Penolakan dari Tim Hukum Investor
Tim kuasa hukum investor BLN, Mohammad Sofyan, menolak tuntutan ganti rugi sebesar Rp 20 miliar tersebut. Sofyan menganggap tuntutan itu tidak masuk akal dan lebih bersifat pemerasan. Ia menegaskan bahwa kliennya belum melakukan aktivitas penambangan emas.
“Mereka (warga Papua) malah mengancam akan membawa klien kami secara paksa ke Papua. Padahal, klien kami belum melakukan pekerjaan mereka (penambangan),” ujarnya.
Sofyan menjelaskan bahwa lokasi lahan untuk areal pertambangan telah diklaim sah secara hukum. Kesepakatan dengan tokoh adat juga telah dilakukan, dan BLN diwakili oleh ormas Barisan Merah Putih (BMP) Papua. Lokasi yang menjadi titik pertambangan juga telah memperhatikan tata ruang provinsi dan daerah Papua, sehingga seluruh proses dianggap sah secara hukum.
“Dokumen-dokumen telah lengkap, izin pertambangan dan operasi sudah keluar. Semua sah secara hukum. Namun, memang klien kami sebagai investor, semua proses diurus oleh pihak lokal melalui Ormas Barisan Merah Putih Papua,” tandas Sofyan.(*)
Berita terkait:
Puluhan Pemuda Papua Duduki Rumah Bos Tambang di Salatiga, Tuntut Keadilan atas Kerusakan Hutan Adat
Tinggalkan Balasan