Kereng: Camilan Legendaris Magelang yang Tak Lekang oleh Waktu
Laporan: Ady Prasetyo
MAGELANG | HARIAN7.COM – Di tengah semarak bulan Ramadan, aroma khas dari tungku kayu membaur di udara Dusun Kerten, Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Aroma itu berasal dari proses pembuatan kereng, camilan legendaris berbentuk tabung lonjong yang telah menjadi bagian dari tradisi kuliner turun-temurun.
Sulaenah (65), seorang perajin kereng yang telah berkecimpung di dunia ini selama lebih dari 45 tahun, tetap setia menekuni keahliannya. “Awalnya saya hanya melihat tetangga membuat, lalu membantu mereka. Setelah punya modal, saya mulai membuat sendiri di rumah,” kenangnya sambil meratakan adonan di atas wajan panas.
Membuat kereng bukan sekadar pekerjaan, melainkan seni yang menuntut ketelatenan dan kesabaran. Setiap hari, selepas subuh hingga menjelang siang, Sulaenah berkutat dengan adonan yang terdiri dari tepung beras ketan, gula pasir, dan kelapa parut. Dalam sehari, ia hanya mampu menyelesaikan satu adonan yang menghasilkan sekitar lima kilogram kereng. Namun, saat Ramadan tiba, permintaan meningkat, dan ia pun dibantu anak perempuannya, Wahidah, untuk menambah produksi hingga dua kali lipat.
Proses pembuatan kereng masih menggunakan cara tradisional. Adonan ditebar tipis di atas wajan besar, lalu dibentuk menjadi gulungan kecil sebelum mengering. Tungku kayu yang digunakan memberikan aroma khas yang membuat cita rasa kereng semakin istimewa.
Tak perlu repot memasarkan, pelanggan setia selalu datang sendiri. “Saya jual Rp40.000 per kilogram. Tidak perlu ke pasar, karena sudah banyak bakul dan pembeli yang datang langsung,” ujar Sulaenah. Dari usaha inilah, ia mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Bagi masyarakat Magelang, kereng bukan sekadar camilan, melainkan bagian dari identitas budaya dan kenangan manis bersama keluarga. Heni Agustiningtyas, warga Secang, mengungkapkan bahwa camilan ini selalu hadir di meja saat Lebaran. “Dulu, orang tua saya selalu menyediakan kereng untuk suguhan tamu,” katanya.
Kini, kereng semakin eksklusif. Jika dulu mudah ditemukan di warung kecil dan pedagang keliling, kini hanya sedikit yang menjualnya di pasar, lebih banyak yang dipajang di toko oleh-oleh. “Sekarang jarang sekali menemukannya, padahal dulu di mana-mana ada,” tambah Heni.
Di tengah perubahan zaman, kereng tetap bertahan, menjadi warisan kuliner yang tak lekang oleh waktu. Dari tangan-tangan terampil seperti Sulaenah, cita rasa autentik ini terus lestari, menghadirkan nostalgia bagi setiap penikmatnya.(*)
Tinggalkan Balasan